Jumat, 17 Maret 2017

TEORI DAN SEJARAH SASTRA “Masa Pembebasan Sastra Indonesia 1998 ”



Oleh:

REINHARD SETIAWAN

Nim: 160388201072



Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG PINANG 2016


  1. Krisis multidimensi
1.      Krisis multidimensi

Krisis multidimensi merupakan istilah yang populer pada dewasa ini sebagaimana sering terbaca di media massa. Secara umum istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang melilit kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia setelah refoarmasi Mei 1998 sehingga terjadi kemerosotan dalam hampir segala aspek  kehidupan. Sumber nya adalah Krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada sekitar tahun 1998 seperti sudah ditulis para ahli daam judul buku.

            Krisis dimulai dengan melonjaknya keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal baru saja di puji-puji oleh Bank dunia dan Iternational Monetary fund (IMF). Nilai tukar rupiah jungkir balik sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps. Akibat lebih jauh timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah  di bawah Presiden Soeharto yang telah berkuasa sejak tahun 1967. Ketika pada tahun 1993 Soeharto dicalonkan oleh Golkar sebagai presiden. Pada waktu itu Golkar adalah partai terbesar pendukung pemerinta, sedangkan partai lainnya hanya dua: Partai Persatuan Pembangunan  (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pencalonan itu berjalan mulus dengan berbagai alasan dan jaringan sistem politik sehingga berkuasa lah soeharto sebagai Presiden RI untuk keenam kalinya.
Kedudukan terbilang kukuh karena sistem politiknya masa itu tidak membuka peluang sedikit pun terhadap perbedaan pendapat. Hampir segala aspek kehidupan sosial politik seprti partai, pers, penerbitan, akademi, organisasi kemasyarakatan di batasi ruang geraknya.
          
  Akan tetapi, pada kenyataan nya sejarah berbicara lain. Perubahan oleh peta ekonomi Asia berubah cepat sehingga  pada tahun 1996-1997 terjadi kriisis keuangan yang dampak berikutnya adalah krisis ekonomi. Gejalanya berawal dari kebijakan pemerintah Thailand yang menutup puluhan lembaga keuangan utamanya 8 desember 1997. Itulah dominan pertama yang kemudian menyeret pecahnya nilai mata uang Filipina, Indonesia, karea selatan, dan Malaysia.
            Kabinetpembagunan VII yang mula bekerja Maret 1998 ternyata tidak mampu mengatasi kemelut ekonomi yang makin meluas sehingga perlawan masyarakat mulai muncul di mana-mana, terutama di sejumlah kampus perguruan tinggi termuka. Para pakar hukum dan kalangan universitas menghendaki proses konstitusional melalu Sidang istimewa MPR, sedangkan mahasisiwa dan kalangan luas menghendaki proses secepatnya. Setelah melewati lobo-lobi politik yang pelik, rumit, dan menegangkan syaraf banyak pihak maka tibalah saatnya Soeharto mengundurkan  diri  pada tanggal 21 Mei 1998 dan menyerahkan kekuasaan pada Wkil Presiden B.J. Habibie.
            Pemerintahan B. J. Habibie yang transisional harus berhadapan dengan berbagai masalah yang rumit, sedangkan tuntutan  masyarakat terlanjur berlebihan untuk segera dari kesulitan. Kebijakan membebaskan pers dan meneladani pembersihan KKN  tidak menutupi kekurangannya di bidang lain sehingga tidak puas lah yang makin berkembang di masyarakat.
             Munculnya nasional Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden ke -4 RI boleh di bilang sebuah “ kejutan” yang di harapkan berbuah manis bagi masa depan bangsa. Ternyata tidak ada satu pun mampu menatasi kemelut politik yang sudah terlanjur terkobar berkepanjangan. Konfliknya dengan DPR dan ABRI berakibat rontoknya dukungan sehingga Gus Dur harus turun dari kursi keprisidenan jauh sebelum jabatan nya selesai. Klau kemuadian muncul tampil Megawati SoekarnoPutri sebagai Presiden dan Hamsah Haz sebagai wakil Presiden periode berikutnya, dapat di bayangkan betapa rumit dan pelik “Permainan” politik yang berslogan reformasi.
            Sebenarnya dukungan internasional terhadap rezim Megawati terbilang mengembirakan, tetapi peta politik dan ekonimi dunia terguncang oleh peristiwa serangan 11 September 2001 yang menghancurkan gedung Word Centre Manhattan, New York. Dalam pemerintahan Megawati tercatat keberhasilan pemilu 2004 yang untuk pertama kalinya membuka kesempatan rakyat indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung di tengahperekonomian nasional yang masih sekarat. Walaupun kemudian tampil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan walil presiden Yusuf Kalla hasil penelitian Rakyat, tentu saja prosesnya panjang dan berliku sehingga kisahnya berada di luar wilayah buku ini.
             Pergantian presiden dan kabinet yang relatif cepat selama sewidu reformasi (1998-2005) tidak dengan sendirinya memenuhi aspirasi dan harapan dan banyak pihak yang sudah terlanjur morat-marit . Semangat reformasi yang tujuan luhur nya adalah membagun hari depan bangsa yang lebih baik di segala bidang melalui eformasi politik, hukum, pemerintahan , sosial, ekonomi, dan lain-lainnya ternyat menimbulkan dampak sosial yang hebat.
Kalaupun tamapak kemajuan pembagunan fisik dan ekonomi selama puluhan tahun, ternyata tidak berbekas kedalam kehidupan sastra indonesia. Oleh katena itu para sastrawan indonesia melafaskan serangkaian himbauan dan harapan kepada kepada banyak pihak, rasa percaya diri di dalam proses penciptaan karya satra yang lahirlah karya sastra yang bemutu dan mampu mengilhami kebangkitan dan pencerahan manusia dan budaya  indonesia.
            Salah satu caranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan dua kali lipat dari masa itu sehingga meningkatkan kesejahteraan sektor pendidikan sebagai landasan membagun indonesia yang merdeka lahir-batin. C ara lain adalah membuka kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan kontribusi yang terbaik dalam pembagunan dan pencerahan kehidupan umat manusia di dalam semesta titipan Allah. Renungan dan himbauan sastrawan indonesia dalam pertemuan Sastrawan indonesia 1997 itu memperlihatkan benang halus yang terjalin pada semagat Pujangga Baru 1930-an, surat surat kepercayaan selenggang 1940-an, dan Manifes kebudayaan 1960-an. Yang tercatat bahwa hegemoni kekuasaan telah menegakkan dan mengekang kreativitas manusia indonesia indonesia ilmu sastrawan.
            Pertemaun sastrawan indonesia itu terlaksana dalam suasana lahir-batin karena krisis ekonomi yang semakin berat di akhir tahun 1998. Barangkali tidak terbayang di pikiran mereka bahwa beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa besejarah 21 Mei 1998 meruntuhkan kekuasaan razim Soeharto.  Jebolnya kekuasaan razim Soeharto pada 21 Mei 1998 telah menimbulkan semangat reformasi yang berlebihan sehingga sering di keluhkan orang sebagai  “Kebablasan” atau euforia di hampir segala aspek kehidupan termasuk dalam dunia penerbitan.   Pada tahun-tahun pertama  era reformasi setelah brmunculan penerbitan tabloid, koran, majalah, dan buku dimana-mana yang semuanya hendak menyuarakan kebebasan berpendapat.
            Terlepas dari kondisi pennerbitan yang pasng surut itu, ternyata sastra Indonesia tidak pernah berhenti berdenyut. Diakhir dekade 19990-an sastra koran dan majalah tetap semarak dan hasilnya yang mencolok adalah “gendukan-gendukan” puisi” dari para penyair yang hilang timbul silih berganti (Sarjono,2001 : 195). Tentusaja btkan secara kebetulan apabila puisi di pilih   sebagai media pengucapan sebab secara teoritis puisi lebih “mudah” ditulis secara ekspresif, mudah di terbitkan secara terbatas sekalipun, dan harga bukunya relatif murah.
            Bolehjadi penerbitan buku puisi di banyak daerah dapat di pandang sebagai cermin perlawanan terhadap hegemoni penerbitan yang sudah mapan di jakarta, seperti Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Obor Indonesia, Harison, Kalam, kompas, Republika, Media In donesia dan lain-lain. Barang kali dapat di kaitkan juga dengan semangat otonomi daerah yang di sana-sini dipandang berlebihan.  Kemungkinan lain tentu saja dapat di kaitkan dengan semagat pembebasan publik hegemoni politik dan kekuasan eperti yang pernah berlaku pada masa akhir Orde Baru.
2.      Sasrta Pembebasan
Makna istilah sastra pembebasan tentu saja masih di perdebatkan panjang kali lebar. Istilah itu pun sama sekali tidak ada kaitan dengan Lembaga Sastra pembebasan yang beralamat Postbus 2063, 7301, DB Apeldoo, Netherlands. Disini hanya di pergunakan sebagai ancar-ancar bahwa sastra pascareformasi dapat di anggap sebagai salah satu jalan pembebasan terhadap berbagai kekangan dan pembatasan yang terjadi di akhir Orde Baru (tahun 1990-an).
Telah di ketahui umum bahwa pembatasan demokrasi tampak jelas dengan pembatasan partai politik sehingga tidak ada aspirasi lain di luar Golkar, PPP, dan PDI. Kalaupun kemudian PDI bergolok dan berkembang (berubah) menjadi partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP). Kemudian pernah muncul partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dengan tokohnya Sri Bintang Pamungkas, rakyat pun tahu bahwa prosesnya panjang ,berliku, rumit, dan harus mengadapi tekanan perintah di bawah kekuasaan Soeharto.
Sementara itu, kehidupan kamous (mahasiswa) pun terkekang oleh sejumlah aturan, sedangkan pers dan kesenian disana-sini terkena juga tertekan dan pembatasan. Pembredelan majala Tempo, DETIK, dan Editor merupakan tanda-tanda pembatasan yang makin menguat sebagai cermin ketakutan pemerintah terhadap yang berbeda . Semboyan dan Slogan pembagunan di awal Orde Baru (tahun 1970-an) yang menumbuhkan harapan rakyat untuk memproleh kehidupan yang lebih baik ternyat sulit di capai. Jadi, wajarlah apabila setelah segala kekangan  itu runtuh lantas berkembang marak gejala-gejala pembebasan di hampir semua bidang kehidupan, termasuk jagat sastra Indonesia.
Imbauan itu mengigatkan banyak pihak akan pentingnya pengkajian dinamika sastra lokal yang hasilnya dapat dijadikan pilar-pilar pendukung dinamika sastra secara nasional.
Sambil mengharapakn terwujudnya gagasan seperti itu, sementara ini baru terpantau maraknya penerbitan sastra di kota-kota besar yang dalam tempo yang singkat menghasilkan puluhan judul buku puisi, kumpulan cerpen, studi, kritik, dan esai dengan tema dan persoalan yang beragam. Diskusi dan seminar pun digelar di mana-mana dengan semagat tema, dan topik-topik aktual seputar reformasi, termasuk pencarian jari diri kelompaok atau daerah.
            Herman J. Waluyo mengigatkan publik dengan pendapat klasik bahwa jika politik dan kekuasaan cenderung kotor dan menyimpang terhadap lainnya demi kemenangan dan pelestarian, puisi memiliki kewajiban moral untuk memberikan teguran atau protes kepada politikus atau penguasa agar kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan yang yang memperhatikan etika politik dan kekuasaan. Dalam sejarah puisi indonesia sering terjadi benturan antara penyair dan penguasa, justru saat penyair menjalankan tugas nya sebagai kekuatan moral.
            Pada waktu Soeharto masih meger-meger sebagai pirun indonesia, dan orang gemetar di hadapan senyuman yang menjanjikan  maut kepada semua yang berani membukanya mata kepala dia, Hasta Mitra memrbitkan Kuartet Mas Moek, karya pulau Baru. Satu demi satu buku itu keluar, dan sastra demi satu juga dibredel. Dimana-man a orang justru mencari buku-buku untuk di baca dan di gandakan, kalau tidak ketemu hasilnya di copy.
Dapat di perkirakan bahwa sambutan masyarakat pembaca terhadap maraknya penerbitan yang beragam visi, misi dan kepentingan itu akan beragam sesuai dengan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial, pengalaman sejarah pengetahuan, ideologi, dan wawasan budayanya.
            Berbagai gejala yang menggembirakan itu harus di pabdang penting oleh para peneliti dan kritikus yang berkewajiban mengkaji dan membongkar maknanya. Spesialisasi pun bisa belaku di kalangan pembaca bagaiman terlihat tanda-tandanya pada pertumbuhan minat, aspirasi, dan apresiasi terhadap gejala-gejala tertentu yang di sana-sini terwadahi atau tersalurkan oleh komunitas-komunitas sastra dengan nama yang beragam dari yang sederhana sampai menterang. Pantas juga di perhatikan maraknya sanggar seni (tari, musik, teater) yang disana-sini pasti bersentuhan dengan apresiasi sastra. Namun komunitas sastra itu jelas mengisyratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang tampaknya di percaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik dari kerut-merut kehidupan sosial dan politik. Apabila benar demikian, masalah yang pantas di simak sekarang adalah masa depan sastra Indonesia dengan sejumlah kemungkinan dan harapan.


3.      Masa Depan Sastra Indonesia
Tampaknya masa depan sastra Indonesia tidak lagi terbatas di Jakarta dan kota-kota di Jawa, tetapi tersebar keseluruh pelosok Tanah Air. Wajar lah apabila Jakarta masih menjadi pusat perhatian secara nasional karena riwayatnya memang sudah berkepanjagan dan kedudukannya sunguh strategis. Dengan demikian, pengamatan terhadap dinamika sastra Indonesia dewasa ini tidak mungkin hanya didasrkan data yang berkembang marak di Jakarta dan kota-kota besar (provinsi), tetapi perlu di perluas ke berbagai daerah bahkan di pertajam ke relung-relung komunitas sastra dan budaya yang marak din mana-mana. Hasilnya adalah data kehidupan dan dinamika sastra indonesia lokal atau daerah (mikro) yang pada gilirannya pasti relevan dengan pengkajian sastra indonesia secara nasional (makro).
Sementara itu, tercatat komunitas penerbitan sastra yang memperhatikan trend tersendiri di samping penerbitan yang sudah lazim belangsung di Balai Pustaka, Gramedia (harian, Kompas, Penerbit, Buku Kompas, Gramedia Pustka Utama, Grasindo, dan Kepustakaan Populer Gramedia). Sudah barang tentu penerbitan apa pun di Kelompok Kompas Gramedia sebagai penerbit swarta terkait dengan dinamika dan kepentingan pasar, termasuk sastra, sehingga pada batas-batas tertentu dapat di bedakan dengan penerbitan pusat bahasa, Dewan Kesenian dan perguruan tinggi yang tidak sepenuhnya beorientasi pasar (Komersial). Terlepas dari kepentingan dasar dari kelompak kompas Gramedia yang pantas dijadikan bahan kajian para kritikus.
 Boleh di perkirakan pengkajian sastra Indonesia masa depan semakin rumit, bukan hanya karena maraknya penerbitan, melainkan juga karena barangnya asoirasi dan aliran setelah reformasi Mei 1998. Tentu saja segala penerbitan sastra pascareformasi tidak dapat di pandang semata-mata produksi masa itu juga sebab penerbitan sastra berbeda dengan penerbitan pers. Secara teoritis di berlakukan anggapan bahwa setiap karya sastra ( puisi, cerpen, novel, dan drama)ditulis atau di ciptakan dalam proses panjang sehingga penerbitannya pasti jauh melewati masa penulisan atau penciptaannya. Jadi , buku-buku yang terbit pascareformasi tidak dapt di pastikan berasal dari naskah yang digarap  pada masa iyu juga. Dengan demikian, dapat diperhitungkan korelasinya dengan masa sebelum reformasi 1998. Akan tetapi telah membuka kemungkinan maraknya beragam penerbitan yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit dibayangkan terjadi. Disisi lain lain juga dipertanyakan daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi yang di anggap berkepanjangan.
Di luar jalur penerbitan buku telah berkembang juga” sastra maya” (cyber-sastra) melalui media elektronik internet yang memberi kesempatan kepada banyak orang untuk membuat situs  dan mengisiknya dengan tulisan apa saja , termasuk sastra.
Bagaimana perkembagannya kemudian memang harus setelah di kejar agar teknilogi komunukasi canggih itu dapat di berdayakan sedemikian rupa sehingga meningkatkan harkat  dan martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama ini selalu meyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter bangsa. Segala gejala perkembangan itu boleh jadi menggembangkan banyak pihak. Dapat di bayangkan para memproleh rezeki yang berlimpah dari karyanya, para penerbit meraup untung, para pembaca memperoleh katarisis, dan para peneliti ( kritikus ) mendapatkan lahan penelitian yang lapang. Di tangan merekalah bernilai tinggi dan bertahan menembus zaman.
            Namun, di sisi lain masih tersisa renungan dan pernyataan seputar perkembagan sastra daerah, suatu masalah budaya yang sudah lama menjadi perbincangan para pakar. Tujuannya ikut membina dan mengembangkan kehidupan kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan umumnya, baik di daerah maupun nasional.
4.      Bacaan Terpilih
Seperti pada bab terdahulu, sepuluh bacaan terpilih pada akhir bab ini pun tidak dimaksudkan sebagai bacaan yang terbaik karena pilihan itu sungguh bukan masalah yang gampang di tengah maraknya penerbitan sastra Indonesia mutakhir. Menurut Tohari, banyak pemimpin menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas berupa wahyu sehingga kekuasaandi tafsirkan sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi. Hal ini dianggapnya kesalahan besar yang harus diubah di tengah sebuah kehidupan megara republik. Akan tetapi, dia pun sadar tidak memiliki kekuatan yang besar untuk perubahan itu. Jadi, disalurkanlah kemarahan dan kegelisahan itu dalam karya sastra dengan harapan dapat memberikan semacam pecahan kepada masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat dan berkah.
Keberhasilannya mengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruh Lintang Kemukus Dini Hari, dan dan jantera Bianglala bukan suatu kebetulan belaka: Ketiga Novel itu memang digarap dengan bersunguh-sungguhselama sepuluh tahun. Naskah itu baru ditawarkan ke koran Kompas pada tahun 1979 dengan pertimbagan situasi sosial politik sudah terbilang mapan untuk mengungkapkan kisah-kisah tragis di seputar peristiwa 30 September  1965.
Apa pun sambutan pembaca, Ahmad Tohari telah menawarkan semacam penigatan dan pencerahan kepada masyarakat agar semakin beradab. Pantas juga di catat bahwa penulisan novel itu didasarkan bacaan yang luas, seperti Onghokham tentang mediun dan buku James Rust tentang perdagangan opium di jawa.

1 komentar: