Oleh:
REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072
Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG
PINANG 2016
- Krisis multidimensi
1. Krisis
multidimensi
Krisis multidimensi merupakan
istilah yang populer pada dewasa ini sebagaimana sering terbaca di media massa.
Secara umum istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang melilit kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia setelah refoarmasi Mei 1998 sehingga
terjadi kemerosotan dalam hampir segala aspek
kehidupan. Sumber nya adalah Krisis ekonomi dan politik yang terjadi
pada sekitar tahun 1998 seperti sudah ditulis para ahli daam judul buku.
Krisis
dimulai dengan melonjaknya keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal baru
saja di puji-puji oleh Bank dunia dan Iternational Monetary fund (IMF). Nilai
tukar rupiah jungkir balik sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps.
Akibat lebih jauh timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah di bawah Presiden Soeharto yang telah
berkuasa sejak tahun 1967. Ketika pada tahun 1993 Soeharto dicalonkan oleh
Golkar sebagai presiden. Pada waktu itu Golkar adalah partai terbesar pendukung
pemerinta, sedangkan partai lainnya hanya dua: Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Pencalonan itu berjalan mulus dengan berbagai alasan
dan jaringan sistem politik sehingga berkuasa lah soeharto sebagai Presiden RI
untuk keenam kalinya.
Kedudukan terbilang kukuh karena sistem politiknya
masa itu tidak membuka peluang sedikit pun terhadap perbedaan pendapat. Hampir
segala aspek kehidupan sosial politik seprti partai, pers, penerbitan, akademi,
organisasi kemasyarakatan di batasi ruang geraknya.
Akan tetapi, pada kenyataan nya sejarah berbicara lain. Perubahan oleh peta ekonomi Asia berubah cepat sehingga pada tahun 1996-1997 terjadi kriisis keuangan yang dampak berikutnya adalah krisis ekonomi. Gejalanya berawal dari kebijakan pemerintah Thailand yang menutup puluhan lembaga keuangan utamanya 8 desember 1997. Itulah dominan pertama yang kemudian menyeret pecahnya nilai mata uang Filipina, Indonesia, karea selatan, dan Malaysia.
Kabinetpembagunan
VII yang mula bekerja Maret 1998 ternyata tidak mampu mengatasi kemelut ekonomi
yang makin meluas sehingga perlawan masyarakat mulai muncul di mana-mana,
terutama di sejumlah kampus perguruan tinggi termuka. Para pakar hukum dan
kalangan universitas menghendaki proses konstitusional melalu Sidang istimewa
MPR, sedangkan mahasisiwa dan kalangan luas menghendaki proses secepatnya.
Setelah melewati lobo-lobi politik yang pelik, rumit, dan menegangkan syaraf
banyak pihak maka tibalah saatnya Soeharto mengundurkan diri
pada tanggal 21 Mei 1998 dan menyerahkan kekuasaan pada Wkil Presiden
B.J. Habibie.
Pemerintahan
B. J. Habibie yang transisional harus berhadapan dengan berbagai masalah yang
rumit, sedangkan tuntutan masyarakat
terlanjur berlebihan untuk segera dari kesulitan. Kebijakan membebaskan pers
dan meneladani pembersihan KKN tidak
menutupi kekurangannya di bidang lain sehingga tidak puas lah yang makin
berkembang di masyarakat.
Munculnya nasional Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai presiden ke -4 RI boleh di bilang sebuah “ kejutan” yang di harapkan
berbuah manis bagi masa depan bangsa. Ternyata tidak ada satu pun mampu
menatasi kemelut politik yang sudah terlanjur terkobar berkepanjangan.
Konfliknya dengan DPR dan ABRI berakibat rontoknya dukungan sehingga Gus Dur
harus turun dari kursi keprisidenan jauh sebelum jabatan nya selesai. Klau
kemuadian muncul tampil Megawati SoekarnoPutri sebagai Presiden dan Hamsah Haz
sebagai wakil Presiden periode berikutnya, dapat di bayangkan betapa rumit dan
pelik “Permainan” politik yang berslogan reformasi.
Sebenarnya
dukungan internasional terhadap rezim Megawati terbilang mengembirakan, tetapi
peta politik dan ekonimi dunia terguncang oleh peristiwa serangan 11 September
2001 yang menghancurkan gedung Word Centre Manhattan, New York. Dalam
pemerintahan Megawati tercatat keberhasilan pemilu 2004 yang untuk pertama
kalinya membuka kesempatan rakyat indonesia memilih presiden dan wakil presiden
secara langsung di tengahperekonomian nasional yang masih sekarat. Walaupun
kemudian tampil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan walil presiden Yusuf
Kalla hasil penelitian Rakyat, tentu saja prosesnya panjang dan berliku
sehingga kisahnya berada di luar wilayah buku ini.
Pergantian presiden dan kabinet yang relatif
cepat selama sewidu reformasi (1998-2005) tidak dengan sendirinya memenuhi
aspirasi dan harapan dan banyak pihak yang sudah terlanjur morat-marit .
Semangat reformasi yang tujuan luhur nya adalah membagun hari depan bangsa yang
lebih baik di segala bidang melalui eformasi politik, hukum, pemerintahan ,
sosial, ekonomi, dan lain-lainnya ternyat menimbulkan dampak sosial yang hebat.
Kalaupun tamapak kemajuan pembagunan fisik dan ekonomi
selama puluhan tahun, ternyata tidak berbekas kedalam kehidupan sastra
indonesia. Oleh katena itu para sastrawan indonesia melafaskan serangkaian
himbauan dan harapan kepada kepada banyak pihak, rasa percaya diri di dalam
proses penciptaan karya satra yang lahirlah karya sastra yang bemutu dan mampu
mengilhami kebangkitan dan pencerahan manusia dan budaya indonesia.
Salah
satu caranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan dua kali lipat dari masa
itu sehingga meningkatkan kesejahteraan sektor pendidikan sebagai landasan
membagun indonesia yang merdeka lahir-batin. C ara lain adalah membuka
kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan kontribusi yang terbaik dalam
pembagunan dan pencerahan kehidupan umat manusia di dalam semesta titipan
Allah. Renungan dan himbauan sastrawan indonesia dalam pertemuan Sastrawan
indonesia 1997 itu memperlihatkan benang halus yang terjalin pada semagat
Pujangga Baru 1930-an, surat surat kepercayaan selenggang 1940-an, dan Manifes kebudayaan
1960-an. Yang tercatat bahwa hegemoni kekuasaan telah menegakkan dan mengekang
kreativitas manusia indonesia indonesia ilmu sastrawan.
Pertemaun
sastrawan indonesia itu terlaksana dalam suasana lahir-batin karena krisis
ekonomi yang semakin berat di akhir tahun 1998. Barangkali tidak terbayang di
pikiran mereka bahwa beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa besejarah 21
Mei 1998 meruntuhkan kekuasaan razim Soeharto.
Jebolnya kekuasaan razim Soeharto pada 21 Mei 1998 telah menimbulkan semangat
reformasi yang berlebihan sehingga sering di keluhkan orang sebagai “Kebablasan” atau euforia di hampir segala
aspek kehidupan termasuk dalam dunia penerbitan. Pada tahun-tahun pertama era reformasi setelah brmunculan penerbitan
tabloid, koran, majalah, dan buku dimana-mana yang semuanya hendak menyuarakan
kebebasan berpendapat.
Terlepas
dari kondisi pennerbitan yang pasng surut itu, ternyata sastra Indonesia tidak
pernah berhenti berdenyut. Diakhir dekade 19990-an sastra koran dan majalah
tetap semarak dan hasilnya yang mencolok adalah “gendukan-gendukan” puisi” dari
para penyair yang hilang timbul silih berganti (Sarjono,2001 : 195). Tentusaja
btkan secara kebetulan apabila puisi di pilih sebagai media pengucapan sebab secara
teoritis puisi lebih “mudah” ditulis secara ekspresif, mudah di terbitkan
secara terbatas sekalipun, dan harga bukunya relatif murah.
Bolehjadi
penerbitan buku puisi di banyak daerah dapat di pandang sebagai cermin
perlawanan terhadap hegemoni penerbitan yang sudah mapan di jakarta, seperti
Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Obor Indonesia, Harison, Kalam, kompas, Republika,
Media In donesia dan lain-lain. Barang kali dapat di kaitkan juga dengan
semangat otonomi daerah yang di sana-sini dipandang berlebihan. Kemungkinan lain tentu saja dapat di kaitkan
dengan semagat pembebasan publik hegemoni politik dan kekuasan eperti yang
pernah berlaku pada masa akhir Orde Baru.
2. Sasrta
Pembebasan
Makna istilah sastra pembebasan tentu saja masih di perdebatkan panjang kali
lebar. Istilah itu pun sama sekali tidak ada kaitan dengan Lembaga Sastra
pembebasan yang beralamat Postbus 2063, 7301, DB Apeldoo, Netherlands. Disini
hanya di pergunakan sebagai ancar-ancar bahwa sastra pascareformasi dapat di
anggap sebagai salah satu jalan pembebasan terhadap berbagai kekangan dan
pembatasan yang terjadi di akhir Orde Baru (tahun 1990-an).
Telah di ketahui umum bahwa
pembatasan demokrasi tampak jelas dengan pembatasan partai politik sehingga
tidak ada aspirasi lain di luar Golkar, PPP, dan PDI. Kalaupun kemudian PDI
bergolok dan berkembang (berubah) menjadi partai Demokrasi Indonesia perjuangan
(PDIP). Kemudian pernah muncul partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dengan
tokohnya Sri Bintang Pamungkas, rakyat pun tahu bahwa prosesnya panjang
,berliku, rumit, dan harus mengadapi tekanan perintah di bawah kekuasaan
Soeharto.
Sementara itu, kehidupan kamous
(mahasiswa) pun terkekang oleh sejumlah aturan, sedangkan pers dan kesenian
disana-sini terkena juga tertekan dan pembatasan. Pembredelan majala Tempo, DETIK, dan Editor merupakan tanda-tanda pembatasan yang makin menguat sebagai
cermin ketakutan pemerintah terhadap yang berbeda . Semboyan dan Slogan
pembagunan di awal Orde Baru (tahun 1970-an) yang menumbuhkan harapan rakyat
untuk memproleh kehidupan yang lebih baik ternyat sulit di capai. Jadi,
wajarlah apabila setelah segala kekangan
itu runtuh lantas berkembang marak gejala-gejala pembebasan di hampir
semua bidang kehidupan, termasuk jagat sastra Indonesia.
Imbauan itu mengigatkan banyak
pihak akan pentingnya pengkajian dinamika sastra lokal yang hasilnya dapat
dijadikan pilar-pilar pendukung dinamika sastra secara nasional.
Sambil mengharapakn terwujudnya gagasan seperti itu,
sementara ini baru terpantau maraknya penerbitan sastra di kota-kota besar yang
dalam tempo yang singkat menghasilkan puluhan judul buku puisi, kumpulan
cerpen, studi, kritik, dan esai dengan tema dan persoalan yang beragam. Diskusi
dan seminar pun digelar di mana-mana dengan semagat tema, dan topik-topik
aktual seputar reformasi, termasuk pencarian jari diri kelompaok atau daerah.
Herman
J. Waluyo mengigatkan publik dengan pendapat klasik bahwa jika politik dan
kekuasaan cenderung kotor dan menyimpang terhadap lainnya demi kemenangan dan
pelestarian, puisi memiliki kewajiban moral untuk memberikan teguran atau
protes kepada politikus atau penguasa agar kembali ke jalan yang benar, yaitu
jalan yang yang memperhatikan etika politik dan kekuasaan. Dalam sejarah puisi
indonesia sering terjadi benturan antara penyair dan penguasa, justru saat
penyair menjalankan tugas nya sebagai kekuatan moral.
Pada
waktu Soeharto masih meger-meger sebagai pirun indonesia, dan orang gemetar di
hadapan senyuman yang menjanjikan maut
kepada semua yang berani membukanya mata kepala dia, Hasta Mitra memrbitkan
Kuartet Mas Moek, karya pulau Baru. Satu demi satu buku itu keluar, dan sastra
demi satu juga dibredel. Dimana-man a orang justru mencari buku-buku untuk di
baca dan di gandakan, kalau tidak ketemu hasilnya di copy.
Dapat di perkirakan bahwa sambutan masyarakat
pembaca terhadap maraknya penerbitan yang beragam visi, misi dan kepentingan
itu akan beragam sesuai dengan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial,
pengalaman sejarah pengetahuan, ideologi, dan wawasan budayanya.
Berbagai
gejala yang menggembirakan itu harus di pabdang penting oleh para peneliti dan
kritikus yang berkewajiban mengkaji dan membongkar maknanya. Spesialisasi pun
bisa belaku di kalangan pembaca bagaiman terlihat tanda-tandanya pada
pertumbuhan minat, aspirasi, dan apresiasi terhadap gejala-gejala tertentu yang
di sana-sini terwadahi atau tersalurkan oleh komunitas-komunitas sastra dengan
nama yang beragam dari yang sederhana sampai menterang. Pantas juga di
perhatikan maraknya sanggar seni (tari, musik, teater) yang disana-sini pasti
bersentuhan dengan apresiasi sastra. Namun komunitas sastra itu jelas
mengisyratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang tampaknya di
percaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik dari
kerut-merut kehidupan sosial dan politik. Apabila benar demikian, masalah yang
pantas di simak sekarang adalah masa depan sastra Indonesia dengan sejumlah
kemungkinan dan harapan.
3. Masa
Depan Sastra Indonesia
Tampaknya masa depan sastra
Indonesia tidak lagi terbatas di Jakarta dan kota-kota di Jawa, tetapi tersebar
keseluruh pelosok Tanah Air. Wajar lah apabila Jakarta masih menjadi pusat
perhatian secara nasional karena riwayatnya memang sudah berkepanjagan dan
kedudukannya sunguh strategis. Dengan demikian, pengamatan terhadap dinamika
sastra Indonesia dewasa ini tidak mungkin hanya didasrkan data yang berkembang
marak di Jakarta dan kota-kota besar (provinsi), tetapi perlu di perluas ke
berbagai daerah bahkan di pertajam ke relung-relung komunitas sastra dan budaya
yang marak din mana-mana. Hasilnya adalah data kehidupan dan dinamika sastra
indonesia lokal atau daerah (mikro) yang pada gilirannya pasti relevan dengan
pengkajian sastra indonesia secara nasional (makro).
Sementara itu, tercatat komunitas
penerbitan sastra yang memperhatikan trend
tersendiri di samping penerbitan yang sudah lazim belangsung di Balai
Pustaka, Gramedia (harian, Kompas, Penerbit, Buku Kompas, Gramedia Pustka Utama,
Grasindo, dan Kepustakaan Populer Gramedia). Sudah barang tentu penerbitan apa
pun di Kelompok Kompas Gramedia sebagai penerbit swarta terkait dengan dinamika
dan kepentingan pasar, termasuk sastra, sehingga pada batas-batas tertentu
dapat di bedakan dengan penerbitan pusat bahasa, Dewan Kesenian dan perguruan
tinggi yang tidak sepenuhnya beorientasi pasar (Komersial). Terlepas dari
kepentingan dasar dari kelompak kompas Gramedia yang pantas dijadikan bahan
kajian para kritikus.
Boleh di perkirakan pengkajian sastra
Indonesia masa depan semakin rumit, bukan hanya karena maraknya penerbitan,
melainkan juga karena barangnya asoirasi dan aliran setelah reformasi Mei 1998.
Tentu saja segala penerbitan sastra pascareformasi tidak dapat di pandang
semata-mata produksi masa itu juga sebab penerbitan sastra berbeda dengan
penerbitan pers. Secara teoritis di berlakukan anggapan bahwa setiap karya
sastra ( puisi, cerpen, novel, dan drama)ditulis atau di ciptakan dalam proses
panjang sehingga penerbitannya pasti jauh melewati masa penulisan atau
penciptaannya. Jadi , buku-buku yang terbit pascareformasi tidak dapt di
pastikan berasal dari naskah yang digarap
pada masa iyu juga. Dengan demikian, dapat diperhitungkan korelasinya
dengan masa sebelum reformasi 1998. Akan tetapi telah membuka kemungkinan
maraknya beragam penerbitan yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit dibayangkan
terjadi. Disisi lain lain juga dipertanyakan daya beli masyarakat di tengah
krisis ekonomi yang di anggap berkepanjangan.
Di luar jalur penerbitan buku telah
berkembang juga” sastra maya” (cyber-sastra) melalui media elektronik internet
yang memberi kesempatan kepada banyak orang untuk membuat situs dan mengisiknya dengan tulisan apa saja ,
termasuk sastra.
Bagaimana perkembagannya kemudian memang harus
setelah di kejar agar teknilogi komunukasi canggih itu dapat di berdayakan
sedemikian rupa sehingga meningkatkan harkat
dan martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra
yang selama ini selalu meyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan
karakter bangsa. Segala gejala perkembangan itu boleh jadi menggembangkan
banyak pihak. Dapat di bayangkan para memproleh rezeki yang berlimpah dari
karyanya, para penerbit meraup untung, para pembaca memperoleh katarisis, dan
para peneliti ( kritikus ) mendapatkan lahan penelitian yang lapang. Di tangan
merekalah bernilai tinggi dan bertahan menembus zaman.
Namun,
di sisi lain masih tersisa renungan dan pernyataan seputar perkembagan sastra
daerah, suatu masalah budaya yang sudah lama menjadi perbincangan para pakar.
Tujuannya ikut membina dan mengembangkan kehidupan kesusastraan, kesenian, dan
kebudayaan umumnya, baik di daerah maupun nasional.
4. Bacaan
Terpilih
Seperti pada bab terdahulu, sepuluh
bacaan terpilih pada akhir bab ini pun tidak dimaksudkan sebagai bacaan yang
terbaik karena pilihan itu sungguh bukan masalah yang gampang di tengah
maraknya penerbitan sastra Indonesia mutakhir. Menurut Tohari, banyak pemimpin
menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas berupa
wahyu sehingga kekuasaandi tafsirkan sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya
muncul sebagai korupsi. Hal ini dianggapnya kesalahan besar yang harus diubah
di tengah sebuah kehidupan megara republik. Akan tetapi, dia pun sadar tidak
memiliki kekuatan yang besar untuk perubahan itu. Jadi, disalurkanlah kemarahan
dan kegelisahan itu dalam karya sastra dengan harapan dapat memberikan semacam
pecahan kepada masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat dan
berkah.
Keberhasilannya mengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruh Lintang Kemukus Dini
Hari, dan dan jantera Bianglala bukan suatu kebetulan belaka: Ketiga Novel
itu memang digarap dengan bersunguh-sungguhselama sepuluh tahun. Naskah itu
baru ditawarkan ke koran Kompas pada tahun 1979 dengan pertimbagan situasi
sosial politik sudah terbilang mapan untuk mengungkapkan kisah-kisah tragis di
seputar peristiwa 30 September 1965.
Apa pun sambutan pembaca, Ahmad
Tohari telah menawarkan semacam penigatan dan pencerahan kepada masyarakat agar
semakin beradab. Pantas juga di catat bahwa penulisan novel itu didasarkan
bacaan yang luas, seperti Onghokham tentang mediun dan buku James Rust tentang
perdagangan opium di jawa.
Makasih atas informasinya.
BalasHapus