Oleh:
REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072
Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG
PINANG 2016
- Surat Kepercayaan Gelangganng
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan
Indonesia
yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang
paling menonjol adalah Asrul Sani dan Rivai Apin.
Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober
1950.
Surat
Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah
kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata
karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis
kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh
wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan
untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan
lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala
usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran
nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan
nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami
berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin
tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari,
membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling
(masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling
pengaruh antara masyarakat dan seniman.
- Lembaga Kebudayaan Rakyat
Lembaga Kebudajaan Rakjat (EYD: Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau
dikenal dengan akronim Lekra,
merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas
inisiatif D.N. Aidit,
Nyoto,
M.S. Ashar, dan A.S. Dharta
pada tanggal 17 Agustus 1950, Lekra mendorong
seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme
sosialis. Semakin vokal terhadap anggota non-Lekra, kelompok lain
membentuk Manikebu (Manifesto Kebudayaan), akhirnya
mengarah ke Presiden Soekarno untuk melarang itu. Setelah Gerakan 30 September,
Lekra dilarang bersama dengan partai komunis.
Lekra
didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai respon terhadap Gerakan Gelanggang
sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharma sebagai sekretaris jenderal pertama.
Dengan menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai
panggilan nyata bagi orang-orang muda, terutama seniman dan penulis, untuk
membantu dalam membangun republik rakyat demokratis. Upaya tersebut dilakukan
di ibukota Sumatera Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar.
Pada tahun 1956, Lekra merilis Mukadimah lain, berdasarkan realisme sosialis,
yang disebut seni untuk mempromosikan kemajuan sosial dan mencerminkan realitas
sosial, bukan mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak seniman
untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke bawah) untuk lebih memahami kondisi
manusia.
Lekra
mengadakan konferensi nasional pertama di Surakarta pada tahun 1959, yang
dihadiri Presiden Soekarno.
Mulai
tahun 1962, Lekra menjadi semakin vokal terhadap orang-orang itu dianggap
melawan gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul Malik Karim Amrullah
dan dokumentarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh Lekra, termasuk
Amrullah dan Jassin, kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan, atau Manifes
Kebudayaan, pada tahun 1963 sebagai respon; setelah Lekra berkampanye melawan
manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada tahun 1964, dan dikucilkan
dalam penandatangannya.
Pada
tahun 1963, Lekra mengklaim memiliki total 100.000 anggota yang tersebar di
seluruh 200 cabang. Selama periode ini, berada di bawah pengawasan yang lebih
ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan 30 September, yang populer
diyakini telah dipromosikan oleh Partai Komunis, dan diikuti dengan pembunuhan massal, Suharto
pengganti Sukarno
dan pemerintah Orde Baru melarang Lekra bersama-sama dengan
organisasi-organisasi komunis terkait lainnya.
C.
Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi
penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang
pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Dewan redaksinya adalah
Sudjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu
dapat bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada
masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan
yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya dapat
bertahan lima tahun, penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang
cenderung cabul dengan akibat kisah tidak
dapat bersaing secara komersial.
- Manifes Kebudayaan
Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah
organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang
kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait
dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap
teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Prosesnya
terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi
Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi liberal dan
menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong,dan
membentuk Dewan Nasional sebagai lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957
dirumuskan dukungan seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957
sekitar 40 orang seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan
dukungan itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajib Rosidi, Gayus Slagian,
Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh, sedangkan pimpinannya adalah
Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, dan Kotot Sukardi.
Pada 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan
pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, kemudian berkembang menjadi
Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dengan ketetapan MPRS No.
1/MPRS/1960 yang menetapkan Manipol sebagai Garis Besar Haluan Negara dengan
lima masalah pokok, yaitu UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin,
ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang kemudian popular dengan
singkatan Manipol-Usdek.
Polemik yang kemudian berkembang menjadi teror budaya itu
mendorong para seniman budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan
barisan dalam majalah sastra pimpinan
H.B. Jassin yang mulai terbit pada Mei 1961. Sejumlah nama baru yang muncul
dalam sastra adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman(Soek Hok Djin), D.A.
Peransi, Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Salim Said, Bur Rasuanto, Ras
Siragar, Gerson Pyk, dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi
seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas
kelompok Lekra.
Puncak pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes
Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari
Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok, Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo
Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail,
Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan
Boen S. Oemarjati. Berikut teks Manifes Kebudayaan.
MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini
mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita,
dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di
atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk
kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha
mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengambangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di
tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan
kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan
hangat dan dukungan dari berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh
agresivitas kelompok Lekra. Akan tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan
yang kuat bagi Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham.
Manifes Kebudayaan dituduh anti-Manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus
dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam
organisasi LKN, Lekra, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s Studio Medan, telah
mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di Balai Wartawan Medan untuk
membicarakan apa yang disebuut “Manifes Kebudayaan”, dan mengganyang Malaysia.
Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas untuk mengganyang apa yang
disebut “ Manifes Kebudayaan” dan mengganyang Malaysia, karena bukan saja
berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut berbahaya untuk pertumbuhan
kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia (Prahara Budaya, 1995: 299)
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam
pernyataannya telah menyambut dengan gembira larangan yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno terhadap apa yang dinamakan Manikebu.
PERHIMI yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan
dengan sukses oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan
memperoleh penilaian yang positif dari masyarakat. (Prahara Budaya, 1995: 358)
Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar
Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964.
Namun, organisasi tersebut tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964
Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan bahwa
pelarangan itu berasal dari tuntutan kelompok Lekra yang secara politis makin
kuat kedudukannya.
maksih bang materinya....
BalasHapus