Sabtu, 18 Maret 2017

TEORI DAN SEJARAH SASTRA “STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN INTRINSIK”





 Oleh:

REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072


Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd



UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TANJUNG PINANG 2016


Berbagai Teori Sastra

1.      Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguangangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri.
Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
1.      Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

2.      Teori Sastra Feminis

Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

3.      Teori Sastra Struktural

Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Berbagai Sejarah Sastra
Secara urutan waktu sastra di Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu Angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.

a.    Pujangga lama

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikaian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syairpantungurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuriadalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.

Karya sastra pujangga lama :
Sejarah
o   Sejarah Melayu (Malay Annals)
Hikayat
o   Hikayat Aceh
o   Hikayat Amir Hamzah
Syair
o        Syair Bidasari
o        Syair Ken Tambuhan
o        Syair Raja Mambang Jauhari
b.   Sastra Melayu Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat,TapanuliMinangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra Melayu Lama:
·         Kapten Flamberger (terjemahan)
·         Rocamblo(terjemahan)
·         Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe

c.   Angkatan Balai Pustaka

Di ikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai PustakaProsa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Balibahasa Batak, danbahasa Madura.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka :
Merari siregar
o   Azab dan Sengsara (1920)
o   Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
o   Cinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
o   Siti Nurbaya(1920)
o   La Hami(1924)
d.   Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang.

Penulis Dan Karya Sastra Pujangga baru :
Sutan Takdir Alisjahbana  :
o   Dian Tak Kunjung Padam(1932)
o   Tebaran Mega –kumpulan sajak (1935)
o   Layar Terkembang (1936)
o   Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)

e.   Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Penulis Dan karya Sastra Angkatan 1945
o   Chairil Anwar
o   Kerikil Tajam (1949)
o   Deru Campur Debu (1949)

f.    Angkatan 1950-1960-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhanH.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Penulis Dan Karya Sastra Angkatan 1950-1960-an
·         Toto Sudarto Bachtiar
o    Etsa sajak-sajak (1956)
o    Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
g.   Angkatan 1966-1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra)pimpinan Mochtar Lubis Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jayasangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo BusyePurnawan TjondronegoroDjamil SuhermanBur RasuantoGoenawan MohamadSapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

h.   Angkatan 1980-1990-an

Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, danTajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka.
Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980-1990-an :
·         Ahmadun Yosi Herfanda
o   Ladang Hijau(1980)
o   Sajak Penari (1990)
o   Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
o   Sembahyang Rumputan (1997)
·                     Y.B Mangunwijaya
o                  Burung-burung Manyar(1981)
·                     Darman Moenir
o                  Bako(1983)
o                  Dendang(1988)
·                     Budi Darma
o                  Olenka(1983)
o                  Rafilus(1988)
i.    Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soehartoke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republikamisalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnyaOrde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra  puisi, cerpen, dan novel  pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum BachriAhmadun Yosi HerfandaAcep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayatdengan media online: duniasastra.com - nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi :
·         Widji Thukul
o    Puisi Pelo
o    Darman

j.    Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, sepertiAfrizal MalnaAhmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra  Angkatan 2000 :
·                     Ayu Utami
o                  Saman (1998)
o                  Larung (2001)


·                     Seno Gumira Ajidarma
o                  Atas Nama Malam
o                  Sepotong Senja untuk Pacarku
o                  Biola Tak Berdawai
·                     Dewi Lestari
o                  Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh(2001)
o                  Supernova 2.1: Akar (2002)
o                  Supernova 2.2: Petir (2004)
·                     Raudal Tanjung Banua
o                  Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
o                  Ziarah bagi yang Hidup (2004)
o                  Parang Tak Berulu(2005)
o                  Gugusan Mata Ibu(2005)

·                     Habiburrahman El Shirazy
o                  Ayat-Ayat Cinta(2004)
o                  Diatas Sajadah Cinta (2004)
o                  Ketika Cinta Berbuah Surga(2005)
o                  Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o                  Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o                  Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o                  Dalam Mihrab Cinta (2007)
·                     Andrea Hirata
o                  Laskar Pelangi(2005)
o                  Sang Pemimpi(2006)
o                  Edensor (2007)
o                  Maryamah Karpov(2008)
o                  Padang Bulan danCinta Dalam Gelas(2010)

Berbagai Kritik Sastra

A.    Kritik Sastra Formalis

Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia  yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.


B.      Kritik Sastra Respon Pembaca

Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.

1.    Pembaca Gelisah


Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.

2.      Pembaca Pasrah

Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca  sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).

1.    The Real Rreader  (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.


2.    Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
a.        Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu  ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks
.b.    Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan. 
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa  terminologi khusus. 

1.    Superreader (Pembaca Pakar)


Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.

2.    Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)

Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan. 

3.     Intended Reader (Pembaca Harapan)

Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.

4.    Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)

Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur. 

C.     Kritik Sastra Feminis

Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu

D.     Kritik Sastra Sosiologis

Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan  pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi pengaruh terhadap masyarakat. 
a.        Konsep dan kriteria 
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
1.    Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat,  sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
2.    Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis. 
3.    Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya. 
4.    Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.

b.    Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.

E.     Metode Pendekatan Pisikologis

Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya. 

DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya. .
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar