Oleh:
REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072
Dosen
Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd
UNIVERSITAS
MARITIM RAJA ALI HAJI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TANJUNG
PINANG 2016
Berbagai Teori Sastra
1. Teori
Psikoanalisis Sastra
Teori
sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala)
dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk
gangguangangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam
bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh
dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di
dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh
itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan
pengarangnya sendiri.
Akan
tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari
oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah
terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain,
ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi,
karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat
pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
1. Teori
Sastra Struktural
Studi
(kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu
sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra,
yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan
berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu
sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem
sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun
studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan
dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom,
terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan
menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun teks sastra
dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
2. Teori
Sastra Feminis
Teori
sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial
patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar
anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan
dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks
sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh
sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra
yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping
itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya
membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran
perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra
perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan,
yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah
penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya,
tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan
perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya,
dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini
kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan
sistem sastra kaum perempuan.
3. Teori
Sastra Struktural
Teori
resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi
(penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra
tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat
dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata
lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap
pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung
dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca
terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri.
Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira
karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas
horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang
dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon
harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;
1.
kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2.
pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3.
kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Berbagai
Sejarah Sastra
Secara urutan waktu sastra di Indonesia terbagi
atas beberapa angkatan, yaitu Angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu
Lama, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi,
angkatan 2000-an.
a. Pujangga
lama
Pujangga lama merupakan bentuk
pengklasifikaian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20.
Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya
Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara
pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul
karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuriadalah yang pertama di
antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII
muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya
Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf
Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Karya sastra pujangga lama :
Sejarah
Hikayat
o Hikayat
Aceh
o Hikayat
Amir Hamzah
|
Syair
o
Syair Raja Mambang Jauhari
|
b. Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan
antara tahun 1870-1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera
seperti "Langkat,Tapanuli, Minangkabau dan daerah
Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra
pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan
terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu Lama:
· Kapten
Flamberger (terjemahan)
· Rocamblo(terjemahan)
· Kisah
Perjalanan Nakhoda Bontekoe
c.
Angkatan Balai Pustaka
Di ikuti oleh penulis-penulis lainnya pada
masa itu. Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang
terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel,
cerita pendek dan drama) dan puisi mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk
mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra
Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap
memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa
Jawa dan bahasa
Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa
Bali, bahasa Batak, danbahasa Madura.
Penulis dan Karya
Sastra Angkatan Balai Pustaka :
Merari siregar
o Azab
dan Sengsara (1920)
o Binasa
kerna Gadis Priangan (1931)
o Cinta
dan Hawa Nafsu
|
Marah Roesli
o Siti
Nurbaya(1920)
o La
Hami(1924)
|
d. Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis
sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut
rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin
oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di
Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori
oleh Sutan Takdir
Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah
satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang.
Penulis Dan Karya
Sastra Pujangga baru :
Sutan Takdir Alisjahbana :
o Dian
Tak Kunjung Padam(1932)
o Tebaran
Mega –kumpulan sajak (1935)
o Layar
Terkembang (1936)
o Anak
Perawan di Sarang Penyamun (1940)
e.
Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak
sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang
romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita
tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan
'45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan
Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin
bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak
Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis
dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Penulis Dan karya
Sastra Angkatan 1945
o Chairil
Anwar
o Kerikil
Tajam (1949)
o Deru
Campur Debu (1949)
f. Angkatan 1950-1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya
majalah sastra Kisah asuhanH.B. Jassin. Ciri angkatan ini
adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah
sastra lainnya, Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan,
yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang
berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan
dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan
mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir
pada tahun 1965dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis Dan Karya
Sastra Angkatan 1950-1960-an
g.
Angkatan 1966-1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra)pimpinan Mochtar Lubis Semangat
avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada
angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya
sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd.
Penerbit Pustaka
Jayasangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada
masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini
adalah Motinggo Busye, Purnawan
Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur
Rasuanto, Goenawan
Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk
paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
h. Angkatan 1980-1990-an
Karya
sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman
percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut
yaitu Marga
T.
Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah
dan penerbitan umum.Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade
1980-an ini antara lain adalah: Remy
Sylado,
Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman
Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, danTajuddin
Noor Ganie.
Nh.
Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada
dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku
Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas
yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari
budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran
timur.Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol
dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka.
Pada
umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan
novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19
dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan
idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980-1990-an :
i.
Angkatan Reformasi
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soehartoke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati
Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan
Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya
sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya
seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republikamisalnya, selama berbulan-bulan
dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai
pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan
Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada
akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnyaOrde Baru. Proses reformasi politik yang
dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya
sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan,
penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep
Zamzam Noer, dan Hartono
Benny Hidayatdengan media online: duniasastra.com - nya, juga ikut
meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan
Reformasi :
o Darman
j.
Angkatan 2000-an
Setelah
wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak
berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal
tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih
penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke
dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an,
sepertiAfrizal
Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir
1990-an, seperti Ayu
Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra
Angkatan 2000 :
|
|
|
Berbagai Kritik Sastra
A. Kritik Sastra Formalis
Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya
dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang
timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya
yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran
futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
B. Kritik
Sastra Respon Pembaca
Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon
dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra.
Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
1. Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai
penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra.
Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir
adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki
pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca.
Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya
sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel
seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu
mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut
pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan
berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa
kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik
atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas
pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi
subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan
subjektivitas penulisnya.
2.
Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada
sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis.
Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di
universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa
teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji
benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent)
adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi
jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya
sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing
memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya
sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam
memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan,
pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo,
1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria,
yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh
pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan
pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra
maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
1. The Real Rreader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis
pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi
sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca
secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan
mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap
cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
2. Hypothetical Reader (Pembaca
Hipotesis)
a.
Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu ril,
historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan
dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis
suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks
.b. Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial
tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca
idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun
penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca
terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
1. Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam
teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas
keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta
stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa.
Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks
sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh
kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
2. Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten
terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang
matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang
memiliki kompetensi kesastraan.
3. Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada
dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif
ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh
pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks,
tetapi belum identik dengan peran pembaca.
4. Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari
srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi
dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang
mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia.
Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan
demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca
tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca
sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act
(tindakan/aturan) yang terstruktur.
C. Kritik Sastra Feminis
Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf,
seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya
era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus
berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit
mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam
sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi,
represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang. Termasuk di
bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu
D. Kritik
Sastra Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra
bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan
masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi
pengaruh terhadap masyarakat.
a.
Konsep dan kriteria
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan
sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra
seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon
pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai
berikut:
1. Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
2. Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
1. Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
2. Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada
pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.
4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
b. Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk
budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi
antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep
sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan
sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami
apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
E. Metode Pendekatan Pisikologis
Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang
bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa
kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam,
sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan
Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi
yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari
sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmazaki.
(1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya. .
Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Selden,
Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar