Oleh:
REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072
Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG
PINANG 2016
- Sekolah dan Pers dalam Masa Pertumbuhan Sastra
Gambaran umum kehidupan sastra
Indonesai tahun 1900-1945 sudah ditulis oleh Bakri Siregar (1964), Zuber Usman
(1964), Teeuw (1952; 1979; 1980), Ajip Rosidi (1969), dan Jakob Sumardjo (1992)
dengan pandanga masing-masing. Semua yang mereka tulis tentu perlu kita baca,
namun permasalahannya ada pada bahan bacaan itu sendiri. Terkadang belum tentu
buku-buku itu ada di perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, karena ada
beberapa buku yang dibekukan atau dilarang pada tahun 1966, terkait para
penulisnya sebagai tokoh Lekra.
Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta. Adalah salah satu pusat perpustakaan
sastra terkemuka di Indonesia. Ada banyak ragam buku, artikel, Koran, majalah,
dan kliping sastra yang sudah berpuluh-puluh tahun usianya. Para peneliti atau
pun pemerhati dan penikmat sastra dapat langsung membaca dan memfotokopinya.
Buku-buku tersebut tentu saja telah menguak dan
mengungkapkan gejala pertumbuhan sastra Indonesia pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 yang tak terpisahkan dari pertumbuhan sekolah dan pers sebagai
penanda perubahan budaya masyarakat Nusantara dari tradisional ke modern.
a.
Balai Pustaka
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari Balai Pustaka yaitu Commissie voor de Inlandsche
School en Volkslectuur. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial
Belanda mendirikan Kantoor
voor de volkslectuur atau
Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan pada
masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab
dan Sengsara oleh Merari
Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan
bahasa – bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai cara untuk
mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan daianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra
Melayu Rendah.
Karya – karya Balai Pustaka membahas tentang istiadat
dan percintaan. Tokoh – tokohnya di angkatan Balai pustaka selalu orang –
orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan karya sastra yang terbit
di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita
sebut dengan bacaan liar.
Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang ada di Surabaya, yaitu
terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai tahun 1862).
Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang popular adalah Nyai Dasima dan
Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa.Oey Se
karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng Liang, isinya
menceritakan tentang keinginan memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa,
yang mereka nilai sudah kolot.
- Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya
sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada
masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme
dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru
yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn
Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 –
1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok
sastrawan Pujangga baru yaitu :
Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi
Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang
dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
- Keimin Bunka Saisdosho
Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka
Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman
dari segala lapangan.
Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru
yang dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan Timur
(1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan peninggalan Balai Pustaka,
hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang.
Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta
mencipta kan karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air,
mengobarkan semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus
membimbing masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi
kebudayaan Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar