Jumat, 17 Maret 2017

TEORI DAN SEJARAH SASTRA “Masa Pertumbuhan Sastra Indonesia Tahun 1900-1945 ”



Oleh:

REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072


Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG PINANG 2016

  1. Sekolah dan Pers dalam Masa Pertumbuhan Sastra
Gambaran umum kehidupan sastra Indonesai tahun 1900-1945 sudah ditulis oleh Bakri Siregar (1964), Zuber Usman (1964), Teeuw (1952; 1979; 1980), Ajip Rosidi (1969), dan Jakob Sumardjo (1992) dengan pandanga masing-masing. Semua yang mereka tulis tentu perlu kita baca, namun permasalahannya ada pada bahan bacaan itu sendiri. Terkadang belum tentu buku-buku itu ada di perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, karena ada beberapa buku yang dibekukan atau dilarang pada tahun 1966, terkait para penulisnya sebagai tokoh Lekra.        
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta. Adalah salah satu pusat perpustakaan sastra terkemuka di Indonesia. Ada banyak ragam buku, artikel, Koran, majalah, dan kliping sastra yang sudah berpuluh-puluh tahun usianya. Para peneliti atau pun pemerhati dan penikmat sastra dapat langsung membaca dan memfotokopinya.
Buku-buku tersebut tentu saja telah menguak dan mengungkapkan gejala pertumbuhan sastra Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tak terpisahkan dari pertumbuhan sekolah dan pers sebagai penanda perubahan budaya masyarakat Nusantara dari tradisional ke modern.
a.       Balai Pustaka
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari Balai Pustaka yaitu Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan pada masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai cara untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan daianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Karya – karya Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan  percintaan. Tokoh – tokohnya di angkatan Balai pustaka selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut dengan bacaan liar. Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang ada di Surabaya, yaitu terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang popular adalah Nyai Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan  Gouw Peng Liang, isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa, yang mereka nilai sudah kolot.
  1. Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

  1. Keimin Bunka Saisdosho
Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman dari segala lapangan.
Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru yang dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan Timur (1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan peninggalan Balai Pustaka, hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang.
Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta mencipta kan karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air, mengobarkan semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus membimbing masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi kebudayaan Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar