Jumat, 17 Maret 2017

TEORI DAN SEJARAH SASTRA “MASA PERGOLAKAN SASTRA INDONESIA TAHUN 1945-1965”




Oleh:

REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072



Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG PINANG 2016


  1. Surat Kepercayaan Gelangganng
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

  1. Lembaga Kebudayaan Rakyat
Lembaga Kebudajaan Rakjat (EYD: Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, Lekra mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Semakin vokal terhadap anggota non-Lekra, kelompok lain membentuk Manikebu (Manifesto Kebudayaan), akhirnya mengarah ke Presiden Soekarno untuk melarang itu. Setelah Gerakan 30 September, Lekra dilarang bersama dengan partai komunis.
Anggota Lekra yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, dan Hersri Setiawan.
Lekra didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai respon terhadap Gerakan Gelanggang sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharma sebagai sekretaris jenderal pertama. Dengan menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai panggilan nyata bagi orang-orang muda, terutama seniman dan penulis, untuk membantu dalam membangun republik rakyat demokratis. Upaya tersebut dilakukan di ibukota Sumatera Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar. Pada tahun 1956, Lekra merilis Mukadimah lain, berdasarkan realisme sosialis, yang disebut seni untuk mempromosikan kemajuan sosial dan mencerminkan realitas sosial, bukan mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak seniman untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke bawah) untuk lebih memahami kondisi manusia.
Lekra mengadakan konferensi nasional pertama di Surakarta pada tahun 1959, yang dihadiri Presiden Soekarno.
Mulai tahun 1962, Lekra menjadi semakin vokal terhadap orang-orang itu dianggap melawan gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan dokumentarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh Lekra, termasuk Amrullah dan Jassin, kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan, atau Manifes Kebudayaan, pada tahun 1963 sebagai respon; setelah Lekra berkampanye melawan manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada tahun 1964, dan dikucilkan dalam penandatangannya.
Pada tahun 1963, Lekra mengklaim memiliki total 100.000 anggota yang tersebar di seluruh 200 cabang. Selama periode ini, berada di bawah pengawasan yang lebih ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan 30 September, yang populer diyakini telah dipromosikan oleh Partai Komunis, dan diikuti dengan pembunuhan massal, Suharto pengganti Sukarno dan pemerintah Orde Baru melarang Lekra bersama-sama dengan organisasi-organisasi komunis terkait lainnya.
C.       Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya dapat bertahan lima tahun, penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan akibat kisah tidak dapat bersaing secara komersial.

  1. Manifes Kebudayaan

Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Prosesnya terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi liberal dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong,dan membentuk Dewan Nasional sebagai lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957 dirumuskan dukungan seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957 sekitar 40 orang seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan dukungan itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajib Rosidi, Gayus Slagian, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh, sedangkan pimpinannya adalah Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, dan Kotot Sukardi.
Pada 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, kemudian berkembang menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 yang menetapkan Manipol sebagai Garis Besar Haluan Negara dengan lima masalah pokok, yaitu UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang kemudian popular dengan singkatan Manipol-Usdek.
Polemik yang kemudian berkembang menjadi teror budaya itu mendorong para seniman budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan barisan dalam majalah sastra pimpinan H.B. Jassin yang mulai terbit pada Mei 1961. Sejumlah nama baru yang muncul dalam sastra adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman(Soek Hok Djin), D.A. Peransi, Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Salim Said, Bur Rasuanto, Ras Siragar, Gerson Pyk, dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas kelompok Lekra.
Puncak pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok, Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan Boen S. Oemarjati. Berikut teks Manifes Kebudayaan.

MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengambangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat dan dukungan dari berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh agresivitas kelompok Lekra. Akan tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan yang kuat bagi Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham. Manifes Kebudayaan dituduh anti-Manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam organisasi LKN, Lekra, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s Studio Medan, telah mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di Balai Wartawan Medan untuk membicarakan apa yang disebuut “Manifes Kebudayaan”, dan mengganyang Malaysia. Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas untuk mengganyang apa yang disebut “ Manifes Kebudayaan” dan mengganyang Malaysia, karena bukan saja berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut berbahaya untuk pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia (Prahara Budaya, 1995: 299)
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam pernyataannya telah menyambut dengan gembira larangan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno terhadap apa yang dinamakan Manikebu.
PERHIMI yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan dengan sukses oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan memperoleh penilaian yang positif dari masyarakat. (Prahara Budaya, 1995: 358)
Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964. Namun, organisasi tersebut tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan bahwa pelarangan itu berasal dari tuntutan kelompok Lekra yang secara politis makin kuat kedudukannya.

1 komentar: