Sabtu, 25 Maret 2017

Fonologi Bahasa


A. KLASIFIKASI BUNYI BAHASA


1. Vokal, konsonan, dan Semi-Vokal

Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas : vokal, konsonan, dan semi vokal. Pembedaannya bedasarakan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara.
a. Bunyi disebut vokal apabila terjadinya tidak ada hambatan (proses artikuliasi) pada alat bicara.
b. Bunyi disebut konsonan apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi.
c. Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut semi-vokal atau semi-konsonan.



2. Nasal dan OralBunyi bahasa dapat dibedakan menjadi nasal (segau) dan oral. Pembedaan ini didasarkan pada keluarnya atau disertainya udara melalui rongga hidung.

a. Apabila udara keluar atau disertai keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit-langit lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau.
b. Apabila langit-langit lunakbeserta ujung anak tekak menaik menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongg mulut saja, maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi oral.



3. Keras (Fortes) dan Lunak (Lenes)Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan lunak (Lenes). Perbedaan ini didasarakan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu diartikulasiakan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.



4. Bunyi Panjang dan PendekBunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Perbedaan ini didasarakan pada lamanya bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasaikan.



5. Bunyi Rangkap dan TunggalBunhi dibedakan atas bunyi rangkap (padu, ganda) dan tunggal.

a. Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam suatu suku kata.
b. Jika terdapat dalam dua suku kata yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja. Bunyi rangkap vokal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan yang lain salig berbeda. Diftong dibedakan atas diftong naik dan diftong turun.



6. Bunyi Nyaring dan Tidak Nyaringa.VokalBunyi dibedakan atas bunyi nyaring (lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Jadi pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendriri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin luas resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, semakin sempit ruang resonansinya makin rendah derajat kenyaringannya. Diantara vokal-vokal maka vokal yang paling tinggi justru derajat kenyaringan (kalantangan, sonorotas)-nya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan paling sempit jika dibandingkan dengan muka lain. Semakin kebawah derajat kenyaringan untuk vokal itu berturut-turut dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi ialah : vokal tertutup, vokal semi tertutup (semi terbuka), vokal terbuka.b.KonsonanDibandingkan dengan vokal, bunyi-bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara pada saluran bicara sebagian ruang resonansi, maka derajat kenyaringannya lebih rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedangkan yang paling tinggi adalah konsonan geletar. Derajat kenyaringan untuk konsonan dari yang paling rendah sampai yang palingtinggi berturut-turut adalah sebagai berikut: konsonan letup tak bersuara, geserantak bersuara, letup bersuara, geseran bersuara, nasal, sampingan, dan geletar.



7. Bunyi dengan Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus In-gresifArah arus udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan in-gresif. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi itu dilaksanakan dengan arus udara keuar dari paru-paru, arus udara demikian disebut egresif. Namun, dalam bahasa-bahasa tertentu dapat juga bunyi itu terbentuk dengan arah udara masuk kedalam paru-paru, jika demikian arah udara itu disebut in-gresif. Arus udara egresif dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu egrsif pulmonik dan egresif glotalik. Begitu juga arus udara in-gresif dapatdibagi menjadi dua yaitu, in-gresif glotalik dan in-gresif velarik.



a. Egresif pulmonik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme pulmonik. Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru, otot perut dan rongga dada.

b. Egresif glotalik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik. Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali.
c. Ingresif glotalik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme glotalik. Bunyi dengan arus udara ingresif mekanisme glotalik ini mungkin secara sempurna prosesnya sama dengan egresif glotalik diatas. Jadi, merapatkan pita-pita suara sehingga glotis tertutup rapat sekali.Hanya bersama-sama dengan itu rongga pangkal tenggorok yang disempitkan itu diturunkan tidak dinaikan, kemudian udara masuk.
d. Ingresif velarik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif(masuk) dengan mekanisme velarik.mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah ditempelkan pada langit-langit lunak.

B. Klasfikasi Konsonan

Jika bunyi ujaran, ketika udara keluar dari paru-paru mendapat halangan,maka terjadilah bunyi konsonan. Halangan yang dijumpai bermacam-macam, ada hubungan yang bersifat seluruhnya, dan ada pula yang sebagian yaitu dengan menggeser atau mengadukkan arus suara/tabel sehingga menghasilkan konsonan bermacam-macam pula. Untuk lebih jelasnya, perhatikan diagram konsonan berikut.Bunyi konsonan dihasilkan apabila arus udara mendapat hambatan, baik di rongga mulut atau di rongga hidung. 

Konsonan dalam bahasa Indonesia dapat digolongkan berdasarkan tiga faktor, yaitu:

1. Bergetar tidaknya pita suara; konsonan bersuara dan konsonan tidak bersuara
2. Daerah artikulasi;bilabial, labiodental, alveolar, palatal, velar, glotal.
3. Cara artikulasi;hambat, frikatif ,nasal, getar atau lateral.Bunyikonsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga kriteria , yaitu posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi.

Ketiga kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Posisi pita suaradibedakan adanya bunyi bersuara dan tidak bersuara. Bunyi terjadi apabila hanya pita suara terbuka sedikit, sehingga terjadi getaran pada pita suara.Bunyi bersuara antara lain, bunyi [b], [d], [g], dan [j].Bunyi tidak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar, sehingga tidak ada getaran pada pita suara. Bunyi yang termasuk tidak bersuara, antara lain; bunyi [s], [k], [p], [t].
2). Tempat artikulasitidak lain dari pada alat ucap yang digunakan dalam pembentukan bunyi konsonan. 

Berdasarkan tempat artikulasinya kita mengenal konsonan:
a). Bilabial,yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir atas. Bunyi yang termasuk konsonan bilabial adalah bunyi [b, b¯], [p, p¯], dan [m, m¯].
b). Labio-dental,yaitu konsonan yang terjadi pada gigi atas dan bibir bawah; gigi atas merapat pada bibir bawah. Bunyi yang termasuk konsonan labio-dental adalah bunyi [f¯. f], dan [v].
c). Dental/alveoral,yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah yang ditempelkan pada gusi yang merupakan daerah kasar terletak di belakang gigi atas. Bunyi yang termasuk konsonan dental/alveoral adalah [t,t¯], [d, d¯], [s, s¯], [z, z¯], [n, n¯], [r, r¯], dan [l, l¯].
d). Palatal,adalah bunyi yang dibentuk dengan lidah menyentuh langit-langit keras. Bunyi yang termasuk konsonan palatal adalah bunyi [c], [j], [s, s¯], [ň], dan [y].
e). Velar, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan bagian belakang lidah menyentuh langit-langit lunak. Bunyi yang termasuk konsonan velar adalah bunyi [k, k¯], [g, g¯], [x, x¯], dan [ŋ, ŋ¯].
f). Glotal,pengucapan bunyi glottal atau hamzah tidak terlalu menuntut peggunaan lidah dan bagian mulut yang lain secara aktif. Bunyi yang termasuk konsonan glotal adalah [h, h¯] dan [?, ?¯].

3). Cara artikulasi,yaitu bagaimana gangguan atau hambatan yang dilakukan terhadap arus udara. Berdasarkan cara artikulasinya konsonan dapat dibedakan menjadi:
a. Konsonan hambatan (stop), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara yang keluar dari paru-paru, lalu dilepaskan seketika. Bunyi yang termasuk konsonan hambat adalah [p, p¯], [b, b¯], [t, t¯], [d, d¯],[k, k¯] dan [g, g¯]. konsonan hambat yang disudahi dengan letupan yang disebut konsonan eksplosif, misalnya [p] pada kata lapar; pukul, dan lipat. Konsonan hambar yang tidak diakhiri oleh letupan disebut konsonan implosive, misalnya [p] pada kata kelap, gelap, tetap.
b. Konsonan Geser atau frikatif,yaitu konsonan yang dihasilkan dengan cara menggesekan udara yang keluar dari paru-paru. Konsonan yang dihasilkan ialah [f], [v], [x], [h], [s], z dan x.
c. Konsonan likuida atau lateral,yaitu konsonan yang dihasilkan dengan menaikan lidah kelangit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan dikeluarkan melalui kedua sisi lidah. Konsonan yang dihasilkan ialah [l].
d. Konsonan Nasal,yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat rapat jalan udara dari paru-paru melalui rongga hidung. Bunyi yang termasuk konsonan nasal adalah [m, m¯], [n, n¯], [ň], dan [ŋ, ŋ¯].
e. Konsonen Getar atau Trill,yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menaikkan ujung lidah dan melengkungkannya ke belakang gusi secara berulang-ulang menempel dan lepas dari gusi. Bunyi yang termasuk konsonan getar adalah [r, r¯].
f. Luncuran,yaitu bunyi yang dihasilkan sebagai bunyi- bunyi transisi.Bunyi yangtermasuk transisi adalah [w, u, o], dan [y, i].
g. Semi-vokal,yaitu bunyi konsonan yang apada diartikulasikan dalam membentuk konsonan murni, misalnya semivokal [w] dan [y]. bunyi bilabial [w] dibentuk dengan tempat artikulasi yang berupa bibir atas dan bibir bawah.

C. Klasifikasi Vokal

Vokal Kardinal: bunyi vokal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu, keadaan lidah tertentu, dan bentuk bibir tertentu, yang telah dipilih sedemikian rupa untuk dibentuk dalam suatu rangka gambar bunyi. Rangka gambar itu dapat dipakai sebagai acuan perbandingan dalam diskripsi vokal semestaan bahasa di dunia. Vokal kardinal itu dalam abjad fonetik internasional diberi lambang [I,e,e’,a,a’,o,o’,u] dan diberi nomor urut 1-8. Parameter penentuan vokal kardinal itu ditentukan oleh keadaan posisi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, struktur dan bentuk bibir. Keadaan lidah dalam mengucapkan vokal kardinal [I,a’,a,u] telah ditentukan dengan menggunakan pemotretan sinar X, sehingga dapat diketahui titik tertinggi letak ketinggian lidah yang melengkung.

Adapun cara pengucapanya adalah sebagai berikut :
Vokal [i] : diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin. Vokal [a] : diucapkan dengan merendahkan lidah depan serendah mungkin. Vokal [a’] : diucapkan dengan merendahkan pangkal lidah serendah mungkin. Vokal [u] : diucapkan dengan menaikan pangkal lidah setinggi mungkin. Vokal [e] dan [e’] : diucapkan dengan lidah depan terletak diantara [i] dan [a]. Vokal [o] dan [o’] : diucapkan dengan posisi pangkal lidah diantara [u] dan [o]. Kedelapan vokal kardinal itu dapat dilihat dalam bagan yang berbentuk trapesium. Vokal dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, struktur, dan bentuk bibir. Keterangan :

1. Tinggi rendahnya lidah Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, vokal dapat dibedakan menjadi :
•  Vokal tinggi, misalnya : [I,u]
•  Vokal madya, misalnya : [e,e’,o,o’]
•  Vokal rendah, misalnya : [a,a’]

2. Bagian lidah yang bergerak, Berdasarkan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi :
•  Vokal depan : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian depan misalnya [I,e,e’,a]
•  Vokal tengah : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah bagian tengah.
• Vokal belakang : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian belakang misalnya [u,o,o’,a]

3. Struktur adalah keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan artikulator pasif. Karena vokal tidak ada artikulasi, maka struktur untuk vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strukturnya vokal dapat dibedakan atas :
• Vokal tertutup (close vowels) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal.
• Vokal semi tertutup (half close) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dengan ketinggian sepertiga dibawah tertutup atau dua pertiga diatas vocal yang paling rendah.
• Vokal semi terbuka (half open) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga diatas vokal yang paling rendah atau dua pertiga dibawah vokal tertutup
• Vokal terbuka (open vowels) : vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah mungkin.

4. Bentuk bibirBerdasarkan bentuk bibir waktu vokal diucapkan, maka vokal dibedakan atas:
• Vokal bulat (rounded vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat, bisa terbuka atau tertutup. Misalnya vocal [o,u]
• Vokal netral (neutral vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral tidak bulat, tetapi juga tidak terbentang lebar. Misalnya vokal [a’]
• Vokal tak bulat (unrounded vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya vokal [I,e,a,e’]

Power Point Upacara Perkawinan Orang Melayu

Power Point Upacara Perkawinan Orang Melayu

Sabtu, 18 Maret 2017

PENGETAHUAN DASAR TEORI MUSIK

Fakultas Bahasa dan Seni

ABSTRAK
Tulisan ini membicarakan bagian-bagian dari teori musik yang jelas dan
benar sehingga memudahkan Anda untuk mengingatnya. Teori musik merupakan
cabang ilmu yang menjelaskan unsur-unsur musik dan mencakup pengembangan
serta penerapan metode untuk menganalisa maupun mengubah musik, juga
keterkaitan antara notasi musik dan pembawaan musik. Hal-hal yang di pelajari
dalam teori musik mencakup seperti Garis paranada, Nada (titinada), Tanda
kunci, Birama, dan Dinamik serta tanda-tanda penting musik. Pelajaran teori
musik yang kita semua ketahui sudah mulai diperkenalkan di tingkat Sekolah
Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) baik itu sebagai pelajaran
pokok ataupun pelajarn ekstrakulikuler. Dalam mempelajari suatu alat musik
sebaiknya terlebih dahulu mempelajari teori musik karena akan lebih
memudahkan seseorang dalam mempelajari alat musik yang di inginkan. Pada
kesempatan ini, Anda akan di ajak untuk menyegarkan kembali ingatan tentang
barbagai macam pengetahuan teori musik yang pernah anda pelajari sebelumnya.
Di samping itu juga kepada Anda akan diingatkan kembali tentang penulisanpenulisan
tanda musik yang benar dan sangat mudah untuk dimengerti. Yakinlah
Anda bahwa Anda selama ini telah memahami teori musik itu sebaik-baiknya
sehingga tidak ada kekeliruan dalam penulisan serta penjelasan dalam praktek
dilapangan.
Kata Kunci: Teori Musik, Penulisan Tanda Musik

GARIS PARANADA
Garis-garis dan spasi-spasi tempat menuliskan musik. Ada lima garis sejajar yang
sama jaraknya dan jarak antara garis-garis itu disebut spasi
Garis
Spasi

NADA (TITINADA)
Nada ialah bunyi yang teratur, artinya: mempunyai bilangan getar (frekuensi)
yang tertentu. Tinggi rendahnya bunyi (suara) bergantung pada besar kecilnya frekuensi
tersebut. Dalam musik, tinggi rendah dan panjang pendeknya nada dapat ditunjukkan
dengan tanda yang disebut: titinada atau not. Perbedaan tala antara dua nada disebut
sebagai interval. Nada dapat diatur dalam tangga nada yang berbeda-beda. Tangga nada
yang paling lazim adalah tangga nada mayor, tangga nada minor, dan tangga nada
pentatonik. Jadi not berfungsi sebagai huruf musik. Bila orang membunyikan hurufhuruf,
kita mendengar kata-kata dan kalimat, demikian pula bila orang membunyikan
huruf-huruf musik (not) dengan mulut atau instrument, kita mendengar musik. Nada
dalam teori musik diatonic barat di identifikasi menjadi 12 nada yang masing-masing
diberi nama yaitu C, D, E, F, G, A dan B serta nada-nada kromatis yaitu Cis/Des,

Dis/Es, Fis/Ges, Gis/As, dan Ais/Bes. Nada-nada tersebut ditempatkan tepat pada garisgaris
paranada dan di antara garis-garis paranada.
Nama dan nilai nada (titinada) ditunjukan oleh bentuk nada (titinada) itu sendiri.
Nada (titinada) yang biasa dipergunakan ialah:
Yang dimaksud dengan nilai titinada, ialah nilai tetap dalam pebandingannya
dengan titinada-titinada lainnya;

TANDA KUNCI
Jenis (nama) nada baru dapat ditentukan, bila pada permulaan garis paranada
diberi tanda kunci. Ada 3 macam tanda kunci:
Kunci G
Untuk piano dan organ
Kunci F
Kunci C
Kunci G
Tanda kunci berbentuk sedemikian, sehingga bentuk melingkarnya tepat berhenti
pada garis ke-dua, karena itu pada garis kedua itulah terletak nada G (tepatnya g’ = g
bergaris satu)
Nada-nada yang tinggi dan redah tidak dapat ditulis dalam garis-garis paranada,
melainkan ditulis di bawah dan di atas gari-garis paranada,, dengan membuat garisgaris
pertolongan bawah dan garis-garis pertolongan atas.
Cara membuatnya:
a. Harus sejajar dan sama jaraknya
b. Panjangnya cukup untuk menuliskan satu nada
Nada-nada seperti yang digambarkan di atas (ditulis pada garis-garis paranada
itu) disebut juga not balok. Berbeda dengan not angka, not balok sekaligus
menggambarkan tinggi rendahnya nada, sedangkan not angka tidak jelas menunjukkan
tinggi rendahnya nada. Panjang pendeknya nada juga dapat ditunjukan dengan bentuk
not-notnya.

Bagian-bagian not dan cara menulisnya
Not terdiri dari bagian-bagian:
a. Kepala
b. Tongkat (not penuh tidak bertongkat)
c. Bendera (hanya not yang bernilai ≤ 1/8 yang mempunyai bendera)
Cara Menulis Not
a. Not-not yang lebih rendah dari garis ke-3 (garis tengah) dari garis paranada, ditulis
dengan tongkat ke atas, ditulis menyinggung bagian kanan dari kepala not.
b. Not-not yang lebih tinggi dari garis ke-3, tongkatnya kebawah menyinggung bagian
kiri dari kepala kepala not.
c. Not yang tepat pada garis ke-3, ditulis bebas (tongkat boleh keatas, boleh ke bawah).
d. Bagi suara berpadu, suara ganjil (ke I dan III) tongkatnya ke atas, suara genap (ke II
dan ke IV) tongkatnya ke bawah.
Kunci F
Untuk memaikan orgel maupun piano, kunci F dipergunakan untuk menuliskan
not-not yang dimainkan oleh tangan kiri. Ketentuan ini tidak mutlak, sebab adakalanya
not-not yang dimaikan tangan kiri ditulis juga dengan kunci G. Kunci F sering disebut
juga kunci bas, sebab suara bas (sesungguhnya Bas dan Tenor) dalam koor, ditulis juga
dengan kunci F.
Bentuk kunci F seperti kunci huruf C terbalik, dengan dua titik di belakangnya.
Nada f terletak pada garis ke- 4.
Kunci C
Kunci C ini sangat jarang di gunakan dalam penulisan musik tapi dalam
penulisan musik untuk alat musik Viola (Biola Alto) menggunakan kunci C. contoh
penulisan kunci C :

BIRAMA
Sebuah lagu, baik vokal maupun instrument merupakan alunan bunyi yang
teratur. Didalam lagu selalu ditemukan adanya pertentangan bunyi antara bagian yang
berat dan bagian yang ringan. Pertentangan bunyi tersebut selalu terulang kembali dan
teratur. Inilah disebut irama atau ritme.
Birama merupakan pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda birama
menunjukkan jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap
sebagai satu ketukan. Nada-nada tertentu dapat diaksentuasi dengan memberikan
tekanan (dan pembedaan durasi).
Tanda birama berupa sebuah angka pecahan yang terdapat pada permulaan lagu,
misalnya 3/4; 4/4; 6/8 dan sebagainya. Pembilang menunjukkan jumlah bagian ketukan
(jumlah pukulan) dalam tiap-tiap birama. Sedangkan penyebut menunjukkan nilai nada
dalam setiap ketukan. Misalnya tanda birama 3/4 dalam tiap-tiap birama berisi 3
ketukan dan tiap-tiap ketukan nilainya = 1 not seperempatan.
Garis Birama Rangkap
Pada akhir setiap lagu terdapat dua buiah garis yang bentuknya, sebagai tanda
bahwa lagu sudah berakhir.

DINAMIK DAN TANDA-TANDA PENTING MUSIK

Tanda Dinamik
Tanda dinamik ialah tanda yang dipergunakan untuk membedakan-bedakan
kekuatan suara. Tanda-tanda tersebut ialah:
pp : singkatan dari pianissimo = sangat lembut
p : singkatan dari piano = lembut
mp : singkatan dari mezzopiano = setengah lembut
ppp : singkatan dari pianissimo possible = paling lembut
f : singkatan dari forte = kuat, keras
ff : singkatan dari fortissimo = keras sekali
fff : lebih keras lagi; lebih keras dari ff
mf : singkatan dari mezoforte = sedang, cukup keras
ritenuto : rit atau riten = ditahan kembali
ritardando : retard = menjadi lambat, diperlambat
accelerando : accel = semakin cepat
poco a poco : lama kelamaan = makin lama makin
crescendo : cress = menjadi kuat
decrescendo: decresc = menjadi lembut
animoso : tegas dan bersemangat
cantabile : lemah-lembut
dolce : manis, merdu
Tanda-Tanda Penting
Tanda Tempo
Sesuai dengan watak dan maksudnya kita mengenal lagu-lagu yang lambat, lagu
yang sedang dan lagu cepat. Sebenarnya berdasarkan perasaan kita dapat menetapkan
sesuatu lagu harus dilaksanakan dengan cepat, lambat atau sedang. Tetapi lebih mudah
bila pada permulaan suatu lagu dicantumpakn tanda temponya berupa suatu kata dari
bahasa latin.

A. Untuk tempo yang sangat lambat;
a. Largosissimo = sangat perlahan-lahan
b. Largo = sangat lambat
c. Adagio = lambat
d. Lento = lambat menarik-narik, merana
e. Grave = berat, sangat khidmat

B. Untuk tempo yang tidak terlau lambat
a. Larghentto = lambat tetapi lebih cepat sedikit dari largo
b. Andante = lambat (seperti orang berjalan-jalan)
c. Andantino = sedikit lebih cepat dari andante

C. Untuk tempo sedang
a. Moderato = sedang; juga merupakan singkatan dari allegro
moderato
b. Allegretto = agak ramai, ringat dan agak cepat

D. Untuk tempo cepat
a. Allegro = cepat
b. Allegro con brio = ramai dan suka hati
c. Allegro con fuoco = berapi-api, menyala-nyala
d. Allegro con spirito = ramai dan bersemangat
e. Allegro agitato = ramai dan bernafsu

E. Untuk tempo sangat cepat
a. Allegro assai, allegrosisimo, allegro vivace = sangat ramai, suka hati dan sangat
cepat sekali
b. Vivace = ramai, suka hati dan cepat sekali
c. Presto = cepat
d. Presto assai = sangat cepat
e. Prestisisimo = secepat mungkin
f. Presto volante = tercepat

Penerapan tempo seperti diterangkan di atas sebenarnya kurang tepat, sebab
istilah lambat, sedang maupun cepat itu sangat relative artinya untuk menentukan
ukuran yang mutlak (absolut) diciptakanlah suatu alat yang disebut metronome.
Penciptanya: J. Maelzel, maka metronome ini disingkat M.M.
Tanda istirahat (tanda berhenti)
Tanda istirahat berfungsi untuk meniadakan bunyi atau memberhentikan bunyi
nada. Dalam musik vokal, kesempatan ini digunakan oleh penyanyi untuk mengambil
nafas. Seperti halnya not, nilai atau panjang pendeknya bunyi berhenti (istirahat)
ditunjukkan oleh bentuk tanda istirahat itu sendiri. Tanda-tanda istirahat tersebut ialah:
Suara
Teori musik menjelaskan bagaimana suara dinotasikan atau dituliskan dan
bagaimana suara tersebut ditangkap dalam benak pendengarnya. Dalam musik,
gelombang suara biasanya dibahas tidak dalam panjang gelombangnya maupun
periodenya, melainkan dalam frekuensinya. Aspek-aspek dasar suara dalam musik
biasanya dijelaskan dalam tala (inggris: pitch, yaitu tinggi nada), durasi (berapa lama
suara ada) intensitas, dan timbre (warna bunyi).

Melodi
Melodi adalah serangkaian nada dalam waktu. Rangkaian tersebut dapat
dibunyikan sendirian, yaitu tanpa iringan atau dapat merupakan bagian dari tangkaian
akord dalam waktu (biasanya merupakan rangkaian nada tertinggi dalam akord-akord
tersebut).
Melodi terbentuk dari sebuah rangkaian nada secara horisontal. Unit terkecil dari
melodi adalah motif. Motif adalah tiga nada atau lebih yang memiliki maksud atau
makna musikal. Gabungan dari motif adalah semi frase, dan gabungan dari semi frase
adalah frase (kalimat). Sebuah melodi yang paling umum biasanya terdiri dari dua semi
frase yaitu kalimat tanya (Antisiden) dan kalimat jawab (konsekuen).

Harmoni
Harmoni secara umum dapat dikatakan sebagai kejadian dua atau lebih nada
dengan tinggi berbeda dibunyikan bersamaan, walaupun harmoni juga dapat terjadi bila
nada-nada tersebut dibunyikan berurutan (seperti dalam arpeggio). Harmoni yang
terdiri dari tiga atau lebih nada yang dibunyikan secara bersamaan disebut akord.

DAFTAR PUSTAKA

Amir pasaribu, “TEORI SINGKAT TULISAN MUSIK”, Noordhoff-Kolff N.V. –
Djakarta. Tanpa Tahun.
Bungart Heinrich, “THEORITICO – PRATICAL HARMONIUM – SCHOOL”, P.J.
Tonger Music, Publisher, Rodenkirchen/Rhein.
Kusbini “SENI MUSIK”, Jajasan Pembangunan Djakarta, 1953.
Soedargono R.G “DASAR PERMULAAN TEORI MUSIK”, Jajasan Kanisius
Semarang, 1953.

SEKILAS TENTANG TEORI DASAR MUSIK

TANGGA NADA DIATONIS

TANGGA NADA DIATONIS adalah rangkaian 7 (tujuh) buah nada dalam satu oktaf yang
mempunyai susunan tinggi nada yang teratur. Dalam teori musik barat, tangga nada diatonis
atau diatonik adalah susunan satu set kumpulan not yang merupakan komponen paling dasar.
Diatonik berasal dari bahasa Yunani, diatonikos, yang artinya merenggangkan. Umumnya
digunakan untuk menyebut tangga nada mayor dan minor saja.

Tangga Nada Diatonis Mayor adalah Tangga Nada yang mempunyai jarak antar nadanya 1
(satu) dan ½ (setengah).

Ciri-ciri tangga nada Diatonis Mayor :
1. Bersifat riang gembira
2. Bersemangat
3. Biasanya diawali dan diakhiri dengan nada Do
4. Mempunyai pola interval : 1 , 1 , ½, 1 , 1 , 1, ½
    Contoh: C  -  D  -  E  -  F  -  G  -  A  -  B  -  C
                        1      1      ½     1      1      1      ½    

Ciri-ciri Tangga nada Diatonis Minor :
1. Kurang bersemangat.
2. Bersifat sedih
3. Biasanya diawali dan diakhiri dengan nada La
4. Mempunyai pola interval : 1 , ½ , 1 , 1 , ½ , 1 , 1 .


TANGGA NADA KROMATIS
Tangga Nada Kromatis adalah tangga nada yang mempunyai jarak antar nadanya hanya ½ .
Contoh : C – Cis/Des – D – Dis/Es- E – F – Fis – G – Gis – A – Ais – B

TANGGA NADA ENHARMNONIS
Tangga Nada Enharmonis adalah rangkaian tangga nada yang mempunyai nama dan letak yang
berbeda, tetapi mempunyai tinggi nada yang sama.
Contoh : Nada Ais-Bes, Cis-Des, Gis-As, Dis-Es, Fis-Ges.

TANGGA NADA PENTATONIK
Tangga Nada Pentatonik, terdiri dari lima nada :
Pentatonik Mayor: do-re-mi-sol-la (1-2-3-5-6)
Pentatonik Minor : do-re-ri-sol-le (1-2-21/2-5-61/2)
Dan masih banyak pentatonic lainnya untuk tingkat lebih lanjut.                   

TANGGA NADA MAYOR DAN MINOR, KRUIS (KRES) DAN MOL
Tangga nada memiliki dua varian yaitu yang biasa disebut “Tangga Nada Dasar” dan ada yang disebut dengan “Tangga Nada # (baca: kruis/kres) atau b (baca: mol). Simbol mol berbentuk
seperti huruf ‘b’. Tangga nada kres atau mol mulai dari 1 kres/mol sampai 7 kres/mol.
Tangga Nada Dasar adalah tangga nada dengan nada dasar 1 (baca: do) = C. Pada tangga nada ini tidak ada kres/mol. Dan dari tangga nada inilah semua perhitungan kres/mol dimulai.
Tangga nada 1=C bila ditulis menjadi : C-D-E-F-G-A-B-ke C lagi (1 oktaf)
Dengan menulis tangga nada yg ditulis “do sama dengan” bisa diartikan sebagai tangga nada mayor. Tangga nada minor ditulis bukan dengan “do sama dengan”, melainkan umumnya “la
sama dengan”. Bagaimana sebuah tangga nada disebut mayor atau minor? Setiap tangga nada
memiliki hukum yang namanya hukum jarak
Pada tangga nada mayor berlaku hukum jarak yaitu :
satu-satu-setengah-satu-satu-satu-setengah
1-1- ½-1-1-1-½
Contoh bila dijabarkan di tangga nada mayor C menjadi jarak
C ke D = 1, D ke E = 1, E ke F = 1/2, F ke G = 1, G ke A = 1, A ke B = 1, dan B ke C lagi = 1/2.
Yang berjarak setengah di tangga nada ini adalah dari E ke F dan B ke C.

Tangga nada minor berlaku hukum jarak yaitu :
satu-setengah-satu-satu-setengah-satu-satu
1- ½ -1-1-½-1-1

Sehingga di tangga nada dasar minornya adalah : A-B-C-D-E-F-G-A
Kres digunakan untuk menaikkan nada setengah, mol digunakan untuk menurunkan nada setengah. Contoh : C# adalah C naik setengah. Nada C# ini sama dengan Db, karena Db adalah
nada D turun setengah. Karena jarak C ke D adalah satu, maka C#=Db.



Tangga nada kres (#)
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tangga nada kres ada 7 mulai dari tangga nada 1# sampai 7#. Rumusnya adalah:
Untuk menentukan nada dasar tangga nada 1# diambil dari nada kelima tangga nada dasar. Untuk menentukan nada dasar tangga nada 2# diambil dari nada kelima tangga nada 1#, dst.
Sehingga bila diurutkan menjadi :
Tangga nada dasar : C-D-E-F-G-A-B-C
Tangga nada 1# : G-A-B-C-D-E-F#-G
Untuk menentukan nada-nadanya pake rumus satu-satu-setengah-satu-satu-satu-setengah diatas.
Uraiannya : G ke A =1, A ke B = 1, B ke C = 1/2, C ke D = 1, D ke E = 1, E ke F# = 1, dan F# ke G = 1/2.
Sehingga bila diteruskan menjadi :
Tangga nada 2# : D-E-F#-G-A-B-C#-D
Tangga nada 3# : A-B-C#-D-E-F#-G#-A
Tangga nada 4# : E-F#-G#-A-B-C#-D#-E
Tangga nada 5# : B-C#-D#-E-F#-G#-A#-B
Tangga nada 6# : F#-G#-A#-B-C#-D#-E#-F#
Tangga nada 7# : C#-D#-E#-F#-G#-A#-B#-C#
Terhenti sampai 7#, karena semua nadanya sudah jadi #.

Tangga Nada Mol (b)
Tangga nada mol rumusnya nada dasar diambil dari nada keempat tangga nada sebelumnya,
dan rumus urutannya seperti di atas juga satu-satu-setengah-satu-satu-satu-setengah.
Sehingga urutannya menjadi:
Tangga nada dasar : C-D-E-F-G-A-B-C
Tangga nada 1b : F-G-A-Bb-C-D-E-F
Tangga nada 2b : Bb-C-D-Eb-F-G-A-Bb
Tangga nada 3b : Eb-F-G-Ab-Bb-C-D-Eb
Tangga nada 4b : Ab-Bb-C-Db-Eb-F-G-Ab
Tangga nada 5b : Db-Eb-F-Gb-Ab-Bb-C-Db
Tangga nada 6b : Gb-Ab-Bb-Cb-Db-Eb-F-Gb
Tangga nada 7b : Cb-Db-Eb-Fb-Gb-Ab-Bb-Cb

Untuk tangga nada minor, baik kres maupun mol berlaku rumus yang sama untuk penentuan nada dasarnya, namun rumus jaraknya berbeda dengan memakai formula satu-setengah-satu satu-
setengah-satu-satu.

HARMONI
Harmoni secara umum dapat dikatakan sebagai kejadian dua atau lebih nada
dengan tinggi berbeda dibunyikan bersamaan, walaupun harmoni juga dapat terjadi bila
nada-nada tersebut dibunyikan berurutan (seperti dalam arpeggio). Harmoni yang
terdiri dari tiga atau lebih nada yang dibunyikan secara bersamaan disebut akord.
AKOR(sering disebut CHORD)
Chord adalah kumpulan tiga nada atau lebih yang bila dimainkan secara bersamaan terdengar harmonis. Akord bisa dimainkan secara terputus-putus ataupun secara bersamaan.
Akord ini digunakan untuk mengiringi suatu lagu. Contoh ketika Anda menekan tiga tuts piano C, E dan G secara bersamaan, ini berarti anda sudah memainkan akord.

MELODI
Melodi adalah serangkaian nada dalam waktu. Rangkaian tersebut dapat
dibunyikan sendirian, yaitu tanpa iringan atau dapat merupakan bagian dari rangkaian akord dalam waktu (biasanya merupakan rangkaian nada tertinggi dalam akord-akord tersebut).


TEORI DAN SEJARAH SASTRA “STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN INTRINSIK”





 Oleh:

REINHARD SETIAWAN
Nim: 160388201072


Dosen Pengampu: Tessa Dwi Leoni, S.Pd., M.Pd



UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TANJUNG PINANG 2016


Berbagai Teori Sastra

1.      Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguangangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri.
Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
1.      Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

2.      Teori Sastra Feminis

Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

3.      Teori Sastra Struktural

Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Berbagai Sejarah Sastra
Secara urutan waktu sastra di Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu Angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.

a.    Pujangga lama

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikaian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syairpantungurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuriadalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.

Karya sastra pujangga lama :
Sejarah
o   Sejarah Melayu (Malay Annals)
Hikayat
o   Hikayat Aceh
o   Hikayat Amir Hamzah
Syair
o        Syair Bidasari
o        Syair Ken Tambuhan
o        Syair Raja Mambang Jauhari
b.   Sastra Melayu Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat,TapanuliMinangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra Melayu Lama:
·         Kapten Flamberger (terjemahan)
·         Rocamblo(terjemahan)
·         Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe

c.   Angkatan Balai Pustaka

Di ikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai PustakaProsa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Balibahasa Batak, danbahasa Madura.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka :
Merari siregar
o   Azab dan Sengsara (1920)
o   Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
o   Cinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
o   Siti Nurbaya(1920)
o   La Hami(1924)
d.   Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang.

Penulis Dan Karya Sastra Pujangga baru :
Sutan Takdir Alisjahbana  :
o   Dian Tak Kunjung Padam(1932)
o   Tebaran Mega –kumpulan sajak (1935)
o   Layar Terkembang (1936)
o   Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)

e.   Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Penulis Dan karya Sastra Angkatan 1945
o   Chairil Anwar
o   Kerikil Tajam (1949)
o   Deru Campur Debu (1949)

f.    Angkatan 1950-1960-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhanH.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Penulis Dan Karya Sastra Angkatan 1950-1960-an
·         Toto Sudarto Bachtiar
o    Etsa sajak-sajak (1956)
o    Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
g.   Angkatan 1966-1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra)pimpinan Mochtar Lubis Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jayasangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo BusyePurnawan TjondronegoroDjamil SuhermanBur RasuantoGoenawan MohamadSapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

h.   Angkatan 1980-1990-an

Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, danTajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka.
Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980-1990-an :
·         Ahmadun Yosi Herfanda
o   Ladang Hijau(1980)
o   Sajak Penari (1990)
o   Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
o   Sembahyang Rumputan (1997)
·                     Y.B Mangunwijaya
o                  Burung-burung Manyar(1981)
·                     Darman Moenir
o                  Bako(1983)
o                  Dendang(1988)
·                     Budi Darma
o                  Olenka(1983)
o                  Rafilus(1988)
i.    Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soehartoke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republikamisalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnyaOrde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra  puisi, cerpen, dan novel  pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum BachriAhmadun Yosi HerfandaAcep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayatdengan media online: duniasastra.com - nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi :
·         Widji Thukul
o    Puisi Pelo
o    Darman

j.    Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, sepertiAfrizal MalnaAhmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra  Angkatan 2000 :
·                     Ayu Utami
o                  Saman (1998)
o                  Larung (2001)


·                     Seno Gumira Ajidarma
o                  Atas Nama Malam
o                  Sepotong Senja untuk Pacarku
o                  Biola Tak Berdawai
·                     Dewi Lestari
o                  Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh(2001)
o                  Supernova 2.1: Akar (2002)
o                  Supernova 2.2: Petir (2004)
·                     Raudal Tanjung Banua
o                  Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
o                  Ziarah bagi yang Hidup (2004)
o                  Parang Tak Berulu(2005)
o                  Gugusan Mata Ibu(2005)

·                     Habiburrahman El Shirazy
o                  Ayat-Ayat Cinta(2004)
o                  Diatas Sajadah Cinta (2004)
o                  Ketika Cinta Berbuah Surga(2005)
o                  Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o                  Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o                  Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o                  Dalam Mihrab Cinta (2007)
·                     Andrea Hirata
o                  Laskar Pelangi(2005)
o                  Sang Pemimpi(2006)
o                  Edensor (2007)
o                  Maryamah Karpov(2008)
o                  Padang Bulan danCinta Dalam Gelas(2010)

Berbagai Kritik Sastra

A.    Kritik Sastra Formalis

Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia  yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.


B.      Kritik Sastra Respon Pembaca

Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.

1.    Pembaca Gelisah


Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.

2.      Pembaca Pasrah

Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca  sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).

1.    The Real Rreader  (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.


2.    Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
a.        Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu  ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks
.b.    Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan. 
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa  terminologi khusus. 

1.    Superreader (Pembaca Pakar)


Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.

2.    Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)

Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan. 

3.     Intended Reader (Pembaca Harapan)

Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.

4.    Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)

Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur. 

C.     Kritik Sastra Feminis

Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu

D.     Kritik Sastra Sosiologis

Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan  pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi pengaruh terhadap masyarakat. 
a.        Konsep dan kriteria 
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
1.    Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat,  sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
2.    Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis. 
3.    Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya. 
4.    Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.

b.    Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.

E.     Metode Pendekatan Pisikologis

Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya. 

DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya. .
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.